Program pemerintah untuk mengurangi pemakaian plastik sekali pakai semakin banyak mendapat dukungan warga. Hal ini terlihat dari dua hasil jajak pendapat telepon Kompas di waktu yang berbeda.
Oleh
Albertus Krisna
·4 menit baca
Program pemerintah mengurangi kantong plastik terus mendapat apresiasi warga Jabodetabek. Hal ini turut diikuti kesadaran mayoritas masyarakat melalui gaya hidup baru ramah lingkungan dalam aktivitas sehari-hari.
Plastik masih mendominasi produksi sampah di Ibu Kota setelah bahan organik. Berdasarkan catatan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, komposisi sampah plastik tahun 2018 mencapai rata-rata 14 persen (980 ton) dari total produksi sampah harian di Jakarta. Produksi harian ini dilihat dari sampah asal Jakarta yang ditampung di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Kota Bekasi.
Jika tidak segera diatasi, sampah plastik berpotensi merusak lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia. Diperlukan waktu lama, sedikitnya 1.000 tahun, agar sampah plastik dapat terurai dengan sempurna. Selama belum terurai, partikel-partikel plastik dapat mencemari tanah dan air tanah.
Pemprov DKI telah melakukan sejumlah upaya untuk mengatasi persoalan ini. Salah satunya ”Jakarta Less Waste Initiative” yang diluncurkan pada Juni 2019. Pemprov dan DLH DKI Jakarta menggandeng para pelaku usaha, seperti restoran dan hotel, dalam menjalankan program ini. Harapannya mereka dapat menjadi pionir untuk mengajak seluruh lapisan masyarakat mengurangi sampah.
Apresiasi warga
Program pemerintah untuk mengurangi pemakaian plastik sekali pakai semakin banyak mendapat dukungan warga. Hal ini terlihat dari dua hasil jajak pendapat telepon Kompas di waktu yang berbeda. Akhir November 2018, program mengurangi penggunaan plastik baru disetujui 91,5 persen. Angka ini meningkat pada awal Agustus 2019 menjadi 97,9 persen.
Apresiasi terhadap program pemerintah ini pun selaras dengan kebiasaan warga. Hampir 90 persen responden mengaku sudah melakukan ”diet” plastik. Membawa tas belanja nonplastik menjadi kebiasaan paling favorit yang dilakukan oleh dua dari lima responden. Selanjutnya disusul membawa botol minum (34,3 persen) dan peralatan makan, tempat makan, serta sedotan besi/bambu (24,6 persen).
Kini tas belanja nonplastik mudah ditemukan di toko retail waralaba dan pasar swalayan di Jakarta. Hal ini tidak lepas dari ketentuan di Pasal 21 Perda DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013. Perda Pengelolaan Sampah tersebut menyebutkan, pusat perbelanjaan, toko modern, dan pasar wajib menggunakan kantong belanja ramah lingkungan.
Mereka yang sudah melakukan ”diet” plastik bukan tanpa alasan. Hampir 60 persen responden merasa khawatir dengan kondisi sampah di sekitar mereka. Disusul karena pengaruh kampanye ramah lingkungan (18,5 persen), gaya hidup (13,8 persen), dan aturan pemerintah (7,7 persen). Terakhir memang karena toko sudah tidak menyediakan kantong plastik lagi (9,1 persen).
Mereka yang sudah melakukan diet plastik bukan tanpa alasan. Hampir 60 persen persen responden merasa khawatir dengan kondisi sampah di sekitar mereka. Disusul karena pengaruh kampanye ramah lingkungan (18,5 persen), gaya hidup (13,8 persen), dan aturan pemerintah (7,7 persen). Terakhir memang karena toko sudah tidak menyediakan kantong plastik lagi (9,1 persen).
Kekhawatiran sebagian besar warga salah satunya disebabkan oleh kebiasaan buang sampah sembarangan, termasuk sampah plastik. Kebiasaan buruk yang masih marak terjadi ini menyebabkan pencemaran lingkungan di sejumlah lokasi.
Tidak praktis
Ketertarikan laki-laki dan perempuan terhadap aktivitas mengurangi pemakaian plastik berbeda. Perempuan lebih banyak melakukan aktivitas ”diet” plastik ketimbang laki-laki.
Sama halnya beda ketertarikan antargenerasi. Responden generasi milenial lebih aktif untuk mengurangi pemakaian plastik sekali pakai dibandingkan generasi baby boomer atau yang berusia 40 tahun ke atas.
Sejumlah alasan terlontar dari mereka yang belum melakukan diet plastik. Tidak praktis menjadi alasan yang paling banyak diungkapkan hampir 60 persen responden. Selanjutnya disusul alasan belum ada larangan dari pemerintah (12,7 persen). Faktor lainnya, biaya ganti kantong plastik di toko masih relatif murah (10,9 persen).
Kebijakan pemerintah
Selain tidak praktis, belum adanya larangan dari pemerintah juga menjadi pemicu warga masih mengindahkan mengurangi plastik. Hingga saat ini, baru dua pemerintahan di Jabodetabek yang telah memiliki peraturan pelarangan plastik, yakni Peraturan Wali (Perwali) Kota Bogor Nomor 61 Tahun 2018 dan Perwali Kota Bekasi Nomor 61 Tahun 2018 yang keduanya mengatur tentang pengurangan penggunaan kantong plastik.
Sementara bagi mereka yang belum memiliki peraturan, upaya pengurangan tetap digaungkan melalui sejumlah imbauan dan kampanye. Contohnya kampanye peringatan ”Hari Tanpa Kantong Plastik Sedunia” di Pasar Mayestik, Maret lalu. Kampanye yang diselenggarakan DLH DKI dan Pemkot Jakarta Selatan itu mengajak pengunjung pasar menukar kantong plastik dengan kantong belanja ramah lingkungan.
Upaya pemerintah menggalakkan kebiasaan ramah lingkungan diapresiasi banyak warga. Tiga dari lima responden pun yakin kelak pemerintah mampu mengatasi persoalan sampah plastik. Meski demikian, kebijakan nyata dan inovasi pemerintah tetap dinanti, setidaknya untuk meyakinkan sepertiga responden yang masih menilai sebaliknya.
Kesadaran warga Ibu Kota dan sekitarnya akan pentingnya diet plastik merupakan sinyal positif. Ditambah lagi sebagian besar warga sepakat dengan hadirnya peraturan dan program pemerintah mengurangi sampah plastik. Kini, tiba saatnya menanti akankah pemerintah segera menanggapi sinyal positif tersebut? (LITBANG KOMPAS)
Kesadaran warga Ibu Kota dan sekitarnya akan pentingnya diet plastik merupakan sinyal positif. Ditambah lagi sebagian besar warga sepakat dengan hadirnya peraturan dan program pemerintah mengurangi sampah plastik. Kini, tiba saatnya menanti akankah pemerintah segera menanggapi sinyal positif tersebut?