Impor limbah berbahaya diduga masih terjadi di Batam. Pelanggaran ditengarai terus berulang karena penegakan hukum masih lemah.
BATAM, KOMPAS— Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelidiki 600 kontainer sampah plastik di Batam, Kepulauan Riau. Sampah plastik impor itu diduga tercampur limbah berbahaya dan sampah jenis lain.
Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK Rosa Vivien Ratnawati, saat dihubungi pada Sabtu (7/9/2019), membenarkan adanya penyelidikan itu. Hasil uji laboratorium akan diumumkan kepada publik tiga hari mendatang.
Dugaan pelanggaran impor sampah plastik untuk bahan baku industri daur ulang itu merupakan yang kedua kali di Batam. Sebelumnya, Juli 2019, sebanyak 49 kontainer sampah plastik di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, dinyatakan KLHK tercampur limbah berbahaya dan sampah jenis lain.
Aktivitas impor scrap plastik yang tidak homogen melanggar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Nonbahan Berbahaya dan Beracun serta Konvensi Basel. Barang yang tercampur harus direekspor ke negara asal paling lambat 90 hari sejak tiba di Indonesia.
Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe B Kota Batam Susila Brata mengatakan, impor sampah plastik itu dilengkapi izin dari Kementerian Perdagangan. Surat dari penyurvei yang ditunjuk juga menyatakan, jenis barang yang diimpor telah diperiksa dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
”Bea dan Cukai tugasnya memfasilitasi instansi terkait, baik dinas lingkungan hidup maupun Kementerian LHK. Apa pun yang menjadi keputusan kementerian atau lembaga tersebut akan kami laksanakan,” kata Susila.
Hal ini sama dengan kasus sebelumnya. Waktu itu, kontainer sampah plastik yang bermasalah juga dibekali dengan surat lengkap. Kode HS yang dicantumkan adalah scrap plastik dan scrap karet. Namun, setelah dibuka, sebagian besar isinya berbagai jenis sampah yang mengeluarkan cairan dan bau tajam.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Yayasan Ecoton Prigi Arisandi mengatakan, pelanggaran impor sampah merupakan tindakan pidana. Kasus kontainer bermasalah terus berulang karena sanksi yang dikenakan, sebatas kewajiban untuk reekspor, masih terlalu lunak.
”Bukan enggak ada hukumannya, tetapi enggak ada yang mau menghukum,” ujar Prigi.
Menurut dia, selain melanggar Permendag No 31/2016, aktivitas impor scrap plastik yang tidak homogen juga melanggar UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pelaku seharusnya dikenai hukuman penjara paling lama 9 tahun jika terbukti mengimpor limbah berbahaya dari negara lain. (NDU)