Komedi Tunggal, Tumpuan Asa Jualan Tawa
Bisnis menjual tawa di layar lebar lewat film bergenre komedi sempat mati suri setelah 2009. Bisnis itu terselamatkan oleh kemunculan pelaku komedi tunggal (stand up comedy) yang terjun ke dunia perfilman.
Namun, belum lama menggapai puncak, nasib film komedi kembali terancam dengan tren jumlah penonton yang menyusut. Mimpi buruk menghinggapi film komedi nasional pada 2010-2013, yakni ketika film bergenre komedi tidak mampu bersaing dengan film-film drama atau pun horor.
Dari 66 film komedi saat itu, tidak satu pun film yang berhasil menembus sejuta penonton. Jumlah penonton sejuta merupakan angka psikologis yang sering disambungkan dengan kesuksesan sebuah film di Indonesia.
Padahal sebelum 2010, tepatnya dalam tiga tahun sebelumnya, selalu ada minimal satu film komedi yang menembus jumlah sejuta penonton. Film-film itu antara lain Quickie Express (2007), Xtra Large (2008), dan Get Married 2 (2009).
Kurang larisnya genre tersebut membuat jumlah film komedi menurun drastis pada 2013. Tahun itu, hanya enam film komedi yang dirilis ke bioskop. Jumlah itu merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir.
Di tengah senja kala bisnis tawa, komedi tunggal datang sebagai penyelamat. Pada 2014, pelaku-pelaku komedi tunggal atau sering disebut komika, mendapat kepercayaan dari pemodal film.
Belasan komika seperti Ernest Prakasa, Pandji Pragiwaksono, dan Arie Kriting, diberikan panggung debut dalam film Comic 8. Kesempatan itu hadir setelah dua tahun dari kemunculannya komedi tunggal yang sempat menggemparkan industri hiburan.
Film komedi yang berbalut aksi laga itu berujung fantastis. Karya garapan sutradara ternama, Anggy Umbara, itu menembus 1,6 juta penonton. Jumlah penonton terseut merupakan rekor terbanyak sepanjang sejarah film komedi kala itu.
“Genre komedi itu tertolong stand up comedy. Kita sempat kehilangan figur di perfilman. Kalau dulu kan figurnya Dono, Kasino, Indro, di Warkop DKI,” kata Djonny Syafruddin, Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI).
Kesuksesan Comic 8 mengembalikan kepercayaan pemodal terhadap film komedi. Sejak itu, jumlah film komedi meningkat terus setiap tahun. Komika pun menjamuri dunia perfilman, baik menjadi aktor, sutradara, hingga penulis skenario.
Puncak kejayaan komika dalam film komedi terjadi pada 2016. Saat itu, empat film yang diperankan atau digarap komika, Cek Toko Sebelah, Hangout, Koala Kumal, Comic 8 Casino Kings Part 2, berhasil menembus 10 besar film dengan penonton terbanyak.
Tahun itu hanya satu film komedi yang bukan bermateri utama komika, Warkop DKI Reborn Part 1, yang berhasil menembus 10 besar. Adapun lima film komedi itu menyumbang 42 persen dari total penonton film nasional.
Satu darah
Penikmat film lokal, Andi (28), mengatakan, film yang diperankan komika membawa kesegaran tersendiri di genre komedi. Sejak kemunculan Comic 8, karyawan swasta ini menjadi penonton setia film komedi yang diperankan komika.
“Sebelumnya tidak terlalu tertarik sama film genre komedi. Pemerannya dan filmnya kurang menarik. Kebetulan saya ngikutin stand up dari pertama muncul 2012. Dan ternyata saat masuk ke film membawa kesegaran. Karena karakternya unik-unik,” sebut Andi.
Dunia komedi tunggal memang memiliki kecocokan tersendiri dengan perfilman. Fenomena yang terjadi di dalam negeri sudah lebih dulu terjadi di Amerika Serikat (AS). Hampir semua komika sukses di Negeri Paman Sam akan mendapat kesempatan di dunia layar lebar.
Misalnya saja aktor, sutradara, dan produser film-film ternama Holywood, Adam Sandler. Sekarang, Sandler lebih dikenal sebagai aktor lewat 75 film yang dibintanginya daripada sebagai komika yang merupakan awal mula karirnya di industri hiburan.
Ernest Prakasa, yang telah menyutradai dan memerankan empat film, mengatakan, komedi tunggal memang sangat dekat dengan dunia akting. Karena itu, komika berpeluang besar masuk ke dunia perfilman.
“Sangat dekat, seperti jadi aktor maupun penulis skenario. Karena saat stand up, kita harus memerankan dan membicarakan materi yang ditulis sebelumnya. Yang agak susah sutradara karena banyak hal teknis harus dipelajari,” tutur pemenang Piala Citra sebagai penulis skenario terbaik itu.
Komedi tunggal cenderung berbeda dengan grup lawak yang sudah menguasai bisnis tawa sejak zaman dulu, seperti Srimulat. Komedi dengan grup ataupun bersama-sama tersebut lebih mengandalkan spontanitas dan improvisasi pelakunya.
Alarm penyegaran
Meski sudah memiliki basis penonton dan kecocokan di industri film, pelaku komedi tunggal tidak bisa berdiam diri. Tren film komedi, termasuk yang diperankan komika, mengalami penurunan jumlah penonton cukup signifikan sejak 2016.
Hal itu tercermin pada karya besutan Ernest dan Radit, dua komika yang filmnya hampir selalu menembus sejuta penonton. Jumlah penonton film mereka tidak mencapai potensi terbaiknya.
Film garapan Radit, Hangout (2016), mampu menggapai 2,6 juta penonton. Namun, film berikutnya seperti The Guys (2017), Target (2018), dan Single 2 (2019) tidak mampu lagi menembus sejuta penonton. Bahkan Single 2 hanya mampu meraup sekitar 600.000 penonton.
Sama halnya dengan nasil film besutan Ernest. Cek Toko Sebelah (2016) mencatatkan hasil fantastis dengan meraup 2,6 juta penonton. Namun, film setelahnya, Susah Sinyal (2017) dan Milly & Mamet (2018), mengalami penurunan rata-rata 500.000 penonton dari satu film ke film berikutnya.
Kondisi ini menjadi anomali. Sebab, penonton film nasional sebenarnya terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Kenaikan jumlah penonton setiap tahunnya lebih dari 10 persen atau melampaui 5 juta penonton. Adapun kenaikan jumlah film berada di bawah 10 persen.
Menurut Ernest, penurunan penonton film komedi disebabkan semakin ketatnya persaingan di layar lebar. Banyaknya film berkualitas baik dari dalam dan luar negeri membuat penonton semakin menyebar.
“Film lokal dari semua genre sudah bagus-bagus. Pasar sudah berani mengeluarkan uang untuk serius membuat film. Karena mereka sudah mengerti, film yang kualtiasnya bagus berpotensi besar ditonton. Jadi persaingan komedi bukan hanya dengan sesama genre, tetapi seluruh genre,” sebut Ernest.
Penurunan jumlah penonton film komedi ini menjadi alarm bagi pelaku bisnis tawa. Mereka membutuhkan ide yang lebih segar. Selama ini film-film komedi lebih sering dikombinasikan dengan genre drama.
Pada paruh pertama 2019, ide segar terbukti membawa pengaruh positif. Film dengan tema baru, komedi bercampur horor, Ghost Writer berhasil meraup 1,1 juta penonton. Padahal, film ini merupakan debut komika Bene Dion Rajagukguk sebagai sutradara.
Variasi juga mulai terlihat pada paruh kedua 2019. Pada September, terdapat film Kapal Goyang Kapten. Film komedi itu membawa tema baru yakni tentang perompak di laut. Pemerannya yang dipenuhi komika seperti Ge Pamungkas, Muhadkly Acho, dan Mamat Alkatiri, juga mengembalikan nuansa reuni Comic 8.
“Film-film komedi di 2019 ini sangat segar. Ini yang saya tunggu. Sebelumnya hanya seputar komedi drama saja. Pemeran dan sutradara juga mulai bervariasi, tidak hanya Radit dan Ernest lagi,” sebut salah seorang penikmat film yang merupakan mahasiswa asal Jakarta, Reni (21).
Potensi besar masih menunggu industri film komedi di masa depan. Potensi itu diikuti dengan tugas berat yang menanti para pelakunya. Mereka harus menjaga tawa penonton tidak berubah menjadi murung akibat kejenuhan.
Di balik tawa lepas penonton dalam teater bioskop ternyata ada perjuangan keras pelaku film. Agaknya benar ucapan komedian asal AS, WC Field, “Komedi adalah bisnis yang serius, dengan satu tujuan: membuat orang tertawa.”