Akhirnya Mereka Berhenti Berburu...
"Terjatuh dari pohon setinggi 20 meter dan sempat koma mengakhiri jalan hidup La Bae (47) sebagai pemburu burung-burung endemik yang sudah ia lakoni sejak usia kanak-kanak itu. ”
Kalau saat itu tidak ditolong teman saya, mungkin saya sudah mati,” kenang Bae saat ditemui Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas di rumahnya di Desa Gandasuli, Kecamatan Bacan Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Bae terjatuh saat berusaha mengambil beberapa ekor burung nuri yang terperangkap lem getah sukun yang ia pasang di dahan kayu. Pria yang dikenal paling lihai berburu burung di Bacan itu terpeleset. Beruntung, dua temannya sesama pemburu burung mengevakusinya.
Bae hanyalah satu dari sekian banyak pemburu burung yang kini tidak lagi masuk hutan. Dulu bahkan ada banyak rumah di Gandasuli yang menyimpan senapan angin untuk berburu. Juga terdapat burung hasil buruan yang dipelihara sebelum dilepas kepada pembeli yang datang.
”Calon pembeli dulu menelepon terlebih dahulu untuk memesan burung dan berapa banyak yang mereka mau,” kata Bae. Ia menambahkan, burung-burung cantik itu dijual dari harga puluhan ribu rupiah per ekor sampai ratusan ribu rupiah.
Ketika hasil kebun dianggap belum cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga akhirnya menjual burung buruan. Apalagi saat harga komoditas kebun, seperti kopi, cengkeh, dan kopra, jatuh. Berburu, menangkap, dan memperjualbelikan burung-burung endemik pun jadi salah satu pilihan untuk menyambung hidup.
”Saya bisa menyekolahkan anak sampai ke universitas juga dari hasil menjual burung,” ucap Bae yang kini memutuskan untuk sepenuhnya berkebun dan beternak.
Surganya burung
Kepulauan Maluku dikenal sebagai surganya burung paruh bengkok nan indah memesona. Dari 1.777 spesies burung yang ada di Indonesia, 700 spesies ada di zona Wallacea yang mencakup Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Kepulauan Maluku. Tak heran, wilayah ini menjadi pusat perburuan dan perdagangan ilegal burung endemik, seperti nuri, kakaktua, perkici, dan kasturi.
Menurut Burung Indonesia, organisasi nirlaba di bidang konservasi, dari 1.117 ekor burung paruh bengkok yang disita aparat sepanjang 2018, lebih dari 700 ekor burung kasusnya terkait Maluku Utara. Selain itu, pada 2017 ada 3.225 ekor burung paruh bengkok yang ditangkap hanya dari wilayah Halmahera Selatan. Sampai periode April 2019, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku menyita 311 satwa dilindungi yang hendak dijual.
”Dari Maluku, burung diperdagangkan lewat jalur Bitung (Sulawesi Utara), Surabaya, sampai ke Batam. Dari Batam, burung diperdagangkan ke pasar internasional,” ujar Vincentia Widyasari, Koordinator Kemitraan Kepulauan Maluku pada Burung Indonesia.
Lemahnya hukum
Vincentia menengarai, maraknya perburuan dan perdagangan burung endemik di kawasan Wallacea disebabkan desakan ekonomi. Pemburu burung beraksi demi mendapat uang secara mudah. Apalagi di masa lalu populasi burung melimpah di alam liar.
”Selain itu, lemahnya perlindungan hukum terhadap spesies burung endemik dan ketidaktahuan masyarakat tentang pentingnya kestabilan populasi burung bagi keseimbangan ekosistem berkontribusi terhadap tingginya perburuan burung,” ujar Vincentia.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Maluku Abas Hurasan mengakui, pengawasan satwa dilindungi kurang optimal karena keterbatasan petugas di lapangan. Cagar Alam Gunung Sibela di Pulau Bacan, misalnya, hanya dijaga dua petugas. Padahal, luas kawasan cagar alam itu mencapai 23.000 hektar.
”Kami juga gencar mengampanyekan ke masyarakat tentang dampak punahnya burung-burung di alam liar. Selain itu, sosialisasi pelarangan perburuan dan perdagangan burung juga terus dilakukan dengan menggandeng organisasi nonpemerintah,” kata Abas.
Dipulihkan
Perlindungan terhadap burung endemik boleh dibilang terlambat. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi baru diundangkan pada 11 Juli 2018. Peraturan yang telah dua kali direvisi itu memasukkan seluruh jenis burung paruh bengkok sebagai satwa yang dilindungi.
Kabar baiknya, mulai tumbuh kesadaran masyarakat untuk berhenti berburu dan memelihara burung endemik. Burung-burung hasil sitaan maupun yang diserahkan secara sukarela mulai direhabilitasi di Pusat Rehabilitasi Satwa Masihulan di Pulau Seram, Maluku. Di sana, ratusan ekor burung direhabilitasi agar kembali ke perilaku aslinya setelah lama dipelihara manusia.
”Saya sadar, apabila burung musnah di alam, apa yang bisa diharapkan? Lebih baik dibiarkan saja berkembang agar kita bisa terus menyaksikannya,” ujar Butje Makatita (47), mantan pemburu burung di Pulau Seram, yang kini menjadi pemandu wisata pengamatan burung.
Di masa lalu, Butje berburu burung hingga lintas pulau. Tak terhitung berapa ribu ekor burung yang pernah ia tangkap dan jual. Sampai suatu saat, ia bertemu turis asing yang mengajaknya berhenti berburu dan sebaliknya melestarikan dan melindungi burung-burung tersebut.
Keberadaan burung di alam tidak dapat diremehkan. Di balik warna bulunya yang menakjubkan dan kicauannya yang merdu, burung punya peran kunci sebagai pengendali hama tanaman, membantu penyerbukan, dan menyebarkan biji-bijian di alam. Keberadaan burung juga menjadi inspirasi bagi ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk kehidupan manusia.
(FRN/LUK/APO)