Penolakan Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi semakin meluas. Kali ini ribuan akademisi dari puluhan perguruan tinggi. Apakah suara mereka akan didengar ?
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
Penolakan Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau RUU KPK bergulir bagai bola salju yang semakin membesar. Hingga Senin (9/9/2019) sekitar pukul 11.00, sebanyak 1.349 dosen dari 27 universitas menolak upaya pelemahan KPK melalui RUU KPK.
Penolakan itu mereka sampaikan melalui pernyataan tertulis yang berjudul ”Harapan Kita Ada di Tangan Presiden”. Menurut mereka, cita-cita luhur bangsa rusak karena korupsi yang merajalela. Sebagai tonggak utama dalam upaya melawan korupsi, KPK sedang diserang dan dilemahkan dari berbagai sisi.
Inisiatif DPR ini dipandang menjadi pintu masuk untuk melumpuhkan KPK. Jika revisi UU KPK akhirnya dapat mematikan KPK, wajar jika dilihat sebagai ancaman terhadap niat luhur membangun bangsa.
”Kami meminta kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo untuk menolak revisi UU KPK yang menjadi inisiatif DPR tersebut. Presiden telah berulang kali menegaskan komitmennya untuk melawan korupsi. Semoga kita bisa tetap berada dalam langkah bersama menjaga KPK agar dapat menjalankan tugasnya secara baik dan efektif dalam memberantas korupsi,” tulis para dosen.
Sementara dukungan datang dari para antropolog Indonesia yang menyatakan bahwa Indonesia masih membutuhkan KPK yang kuat. Setidaknya ada lima antropolog yang menyuarakan dukungan ini, yakni Paschalis Maria Laksono dan Damairia Pakpahan dari Universitas Gadjah Mada, Yando Zakaria dari Universitas Indonesia, Yudi Febrianda dari Universitas Padjadjaran, dan Fajri Rahman dari Universitas Andalas.
Dalam pernyataan mereka disebutkan, RUU KPK menunjukkan kemunduran upaya pemberantasan korupsi yang seharusnya diperkuat. KPK adalah model sukses di dunia, sekaligus anak kandung reformasi yang mestinya dijaga dan diperkuat.
Negeri ini harus belajar dari kekeliruan masa lalu, untuk tidak mementingkan kelompok orang atau golongan tertentu dan mengorbankan kepentingan masyarakat yang seharusnya menjadi prioritas. ”Wakil rakyat harus menjadi representasi yang memperjuangkan kemaslahatan publik bukan malah menjadi motor kehancuran sendi-sendi hukum dan demokrasi yang sedang tumbuh dan berjalan membaik,” tulis para antropolog.
Karena itu, Presiden harus berpikir dan bekerja sungguh-sungguh untuk menjamin dan melindungi hak-hak warga negara dalam berdemokrasi, termasuk memperjuangkan dan memperkuat gerakan antikorupsi.
Masih berduka
Situasi Gedung Merah Putih KPK masih dalam keadaan ”berduka”. Kain hitam masih menutupi logo KPK sejak Minggu (8/9/2019) siang. Berbagai karangan bunga bertuliskan ”turut berdukacita” berjejer di bagian depan gedung.
Adapun meja putih untuk meletakkan bunga dan lilin di antara jejeran karangan bunga. Pada bagian atas meja, terdapat poster bertuliskan ”KPK Harus Mati” (Koruptor).
Keinginan memiliki negara bebas korupsi pun terus diserukan masyarakat melalui tanda tangan petisi daring ”Indonesia Bersih, Presiden Tolak Revisi UU KPK!” di Change.org. Sejak tiga hari lalu, sudah lebih dari 27.500 pengguna internet menandatangani petisi ini.
Muhammad Nafis Zhafran, satu dari ribuan warganet yang menandatangani petisi ini. Dia turut menandatangani petisi ini dengan alasan, ”Saya tidak rela kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) digergaji. Pak Jokowi, tolong hentikan pembahasan revisi UU KPK,” tulisnya.
Adapun Ariz Arham yang menyampaikan, ”Indonesia pernah memilki lembaga pemberantas korupsi yang semuanya karam. Tidak independen, tidak didukung karena menjadi alat saja. Indonesia tidak boleh kembali ke masa lalu. KPK harus independen, titik”.
Petisi ini diinisiasi oleh Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Henri Subagiyo yang ditujukan langsung kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.
Revisi Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada 5 September 2019 seolah menjadi serangkaian upaya pelemahan KPK. Bahkan, persoalan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK) terkait lemahnya pertimbangan integritas oleh panitia seleksi pun belum tuntas.
Dalam petisi itu disampaikan, RUU KPK merupakan produk lama sejak 2016 yang saat itu ditunda dan dikeluarkan dalam Program Legislasi Nasional tahunan sehingga tidak masuk lagi dalam Prolegnas 2017, 2018, dan 2019. Dengan begitu, putusan yang diambil DPR pada Rapat Paripurna hanya dalam lima menit tanpa dibacakan oleh setiap fraksi tentu akan memundurkan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Apabila RUU KPK benar disahkan, kewenangan KPK dalam menyadap, menggeledah, dan menyita harus mendapat izin dari Dewan Pengawas yang dibentuk DPR atas usulan Presiden. Selain itu, personel penyidik KPK pun tidak lagi independen karena harus berasal dari kepolisian, kejaksaan, dan aparatur sipil negara.
Kemudian, dalam hal penuntutan, KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Revisi ini pun akan membuat penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang tidak selesai dalam satu tahun boleh dihentikan oleh KPK.