Internal pemerintah hingga kini belum sepakat tentang isi dalam draft rancangan Undang-undang Pertanahan. Ini menjadi indikator ketidakmatangan dalam pembahasan perundangan.
Oleh
Ichwan Susanto
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Internal pemerintah hingga kini belum sepakat tentang isi dalam draft rancangan Undang-undang Pertanahan. Ini menjadi indikator ketidakmatangan dalam pembahasan perundangan yang akan menjadi acuan dalam pengelolaan tahan bahkan menyentuh masalah sumber daya alam, khususnya kehutanan.
Bila pengesahan dipaksakan, pelaksanaannya berpotensi menimbulkan kekacauan di lapangan serta menambah ketimpangan penguasaan lahan. Proses ini juga akan membuat berbagai ketelanjuran pelanggaran hukum penguasaan lahan tak tersentuh penegakan hukum.
Dikonfirmasi terkait pembahasan RUU Pertanahan ini, Sabtu (7/9/2019) di Jakarta, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono mengatakan berbagai catatan yang diberikan para pakar – khususnya Hariadi Kartodihardjo – juga merupakan “suara” KLHK.
Secara tak langsung, ia mengatakan dampak RUU Pertanahan akan mengganggu berbagai proses penyelesaian penguasaan lahan di kawasan hutan yang sedang ditangani KLHK melalu Perpres 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan
RUU Pertanahan yang seharusnya merupakan penerjemahan dari UU 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, isinya malah berpotensi menimbulkan sengkarut. UU 5 tersebut yang kemudian juga diterjemahkan melalui UU 41/1999 tentang Kehutanan, memisahkan antara sumber daya alam – termasuk hutan - dan tanah.
“RUU Pertanahan jangan mengubah proses yang di KLHK sudah sistem,” kata Bambang Hendroyono.Ia mencontohkan saat ini KLHK sedang menyelesaikan “penguasaan lahan” di kawasan hutan. Identifikasi yang dilakukan bila “penguasaan lahan” atau eksisting tersebut terjadi sejak berpuluh tahun seperti contoh kasus transmigrasi, bisa diselesaikan.
Itu lebih karena proses pelepasan kawasan hutan belum dilakukan tetapi program tersebut sah. “Itu tidak perlu pakai RUU Pertanahan, cukup Perpres 88. Tidak mengganggu prinsip-prinsip UU 41. Jangan ganti dengan prosedur lain,” kata dia.
Ia menyebutkan terdapat fasilitas sosial dan fasilitas umum yang telah eksis sebelum penunjukan kawasan hutan. Luasnya sekitar 2,6 juta ha yang sedang diproses KLHK.
Dihubungi terpisah, Wahyu A Perdana, Manajer Kampanye Pangan, Air, & Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Rabu (4/9/2019) di Jakarta, mengatakan RUU Pertanahan memiliki sejumlah permasalahan substansif serta bergeser dari semangat awal untuk memperbaiki ketimpangan. Selain sepakat dengan berbagai risiko yang ditunjukkan para pakar (Kompas, 4 September 2019), ia pun menunjukkan RUU tersebut memperlebar kesenjangan pengelolaan tanah.
Wahyu mencontohkan batas maksimal penguasaan tanah berdasarkan skala ekonomi dan pajak progresif. Dengan kata lain, kata dia, kondisi ini membuat orang yang kaya akan semakin kaya dengan memiliki kesempatan lebar menguasai lahan. Praktik di lapangan, ekspansi perkebunan mendesak lahan atau hutan adat/komunitas lokal serta kawasan lindung.
Secara terpisah, Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), mengatakan KSP mengetahui bahwa isi naskah RUU Pertanahan yang ada sekarang masih dinilai sejumlah pakar dan aktivis mengandung kelemahan. “Untuk itu, pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada DPR RI untuk mengambil keputusan, apakah RUU ini akan disahkan pada tahun 2019 ini atau ditunda untuk dibahas dan disahkan oleh DPR RI berikutnya,” kata dia.
Ia mengatakan sejak 2007 atau 12 tahun lalu, pemerintah dan DPR bersepakat dan berproses menyusun RUU Pertanahan sebagai legislasi turunan dari UU 5/1960 tentang Pokok Agraria. Maksud perundangan tersebut, kata dia, untuk memperjelas arah dan bentuk kebijakan pertanahan sebagai matriks dasar kebijakan agraria dan sektor lainnya. Perundangan tersebut pun dimaksudkan untuk memperjelas kerangka kebijakan reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria.
Bagi pemerintah, lanjut Usep, UU Pertanahan diperlukan. Proses konsultasi publik sudah dilakukan panjang sejak 2007 dan perumusan naskah sudah dilaksanakan oleh panitia kerja di DPR RI bersama pemerintah. “Namun jika ternyata hasilnya dipandang masih belum memadai, pemerintah menyerahkan sepenuhnya pada keputusan DPR RI. Apapun keputusannya pemerintah siap menjalankan,” kata dia.