Presiden Joko Widodo diharapkan menjaga kepercayaan publik dengan tidak membiarkan revisi UU KPK terus berlanjut di tengah penolakan publik.
JAKARTA, KOMPAS Presiden Joko Widodo diharapkan mempertimbangkan sungguh-sungguh aspirasi publik yang menolak pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Revisi yang dipaksakan bisa merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah, sekaligus bisa mengganggu kepercayaan investor yang ingin berinvestasi di Indonesia.
Saat ini kelanjutan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berada di tangan Presiden Joko Widodo. Dewan Perwakilan Rakyat tinggal menunggu surat presiden yang menandai dimulainya pembahasan rancangan undang-undang antara pemerintah dan DPR.
Hingga Minggu (8/9/2019), dukungan publik kepada KPK terus bertambah. Mereka berharap Presiden Jokowi menyelamatkan KPK dari pelemahan. Petisi daring ”Indonesia Bersih, Presiden Tolak Revisi UU KPK!” di Change.org sudah ditandatangani 23.800 pengguna internet. Sementara itu, hingga Minggu malam, sudah 1.006 pengajar dan guru besar lintas perguruan tinggi mendukung petisi berisi dukungan agar KPK tidak dilemahkan.
Revisi UU KPK dinilai melemahkan KPK karena ada pasal yang memberi kewenangan KPK menghentikan penyidikan perkara, pembentukan Dewan Pengawas KPK, dan penyadapan yang memerlukan izin Dewan Pengawas.
Kemarin, di Gedung KPK, Jakarta, pegawai dan pimpinan KPK ”menutup” Gedung KPK secara simbolis dengan menyelubungi tulisan dan logo KPK dengan kain hitam. Aksi itu dipimpin Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Kegiatan itu juga dihadiri elemen masyarakat sipil dan perwakilan perguruan tinggi.
Kepercayaan publik
Upaya revisi UU KPK ini dilakukan di tengah persepsi positif publik terhadap KPK. Jajak pendapat Litbang Kompas, Juli 2019, menunjukkan 79,6 persen responden menganggap baik citra KPK.
Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan Ketatanegaraan yang juga advokat senior, Albert Hasibuan, mengatakan, usaha revisi UU KPK itu tidak logis. Sebab, rakyat merasa KPK sudah cukup baik dalam memberantas korupsi.
”Saya yakin Presiden Jokowi mendengarkan suara rakyat dan tidak akan mengirimkan surat (surat presiden) ke DPR,” kata Albert. Apabila revisi UU KPK terus dilakukan di tengah penolakan publik, menurut Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor, hal itu bisa mendegradasi kepercayaan publik kepada pemerintah.
”Revisi UU KPK menunjukkan raut wajah asli DPR yang memang membuat jarak dengan masyarakat dan tidak aspiratif,” ujarnya. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengingatkan, ketidakpastian penegakan hukum, termasuk korupsi, akan membuat kepercayaan investor dalam penanaman investasi hilang. Dalam konteks regulasi, misalnya, RUU KPK yang berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi akan meningkatkan risiko investasi.
”Apabila regulasi dan penegakan hukum tidak pasti, itu akan menimbulkan rasa ketidakpercayaan investor, karena mereka melihat ada potensi ketidakadilan dalam menjalankan bisnis sebab suap dan korupsi mungkin terjadi,” tuturnya.
Menurut Enny, kepastian hukum dan penegakan hukum merupakan faktor yang sangat menentukan kemudahan berbisnis di suatu negara. Manakala ketidakpastian hukum menguat, investor akan berpikir dua kali untuk berinvestasi.
Tidak terburu-buru
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufiqulhadi, mengungkapkan, DPR hanya tinggal menunggu surat presiden untuk melanjutkan pembahasan revisi UU KPK. ”Kami tinggal membahas itu dengan pemerintah,” katanya.
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengingatkan agar Presiden Jokowi memperhatikan desakan publik dan potensi pelemahan KPK melalui revisi UU KPK. Menurut dia, Pasal 49 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan waktu 60 hari kepada presiden untuk menanggapi surat DPR mengenai pembentukan RUU inisiatif DPR.
”Kalau, misalnya, dalam 60 hari waktu yang diberikan undang-undang itu presiden tidak memberikan tanggapan juga tidak apa-apa. Toh itu akan terlewati dari masa kerja DPR periode 2014-2019 yang dalam waktu dekat akan berakhir,” kata Bayu.
Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, rencana revisi UU KPK membuktikan ada kesalahan sistematika berpikir dalam menyusun dasar hukum memperkuat pemberantasan korupsi. Seharusnya, tambahnya, yang diatur bertahap ialah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, lalu UU Tindak Pidana Korupsi, baru UU KPK.
Kekeliruan pola pikir DPR, kata Akhiar, mulai terlihat dari keinginan memasukkan kembali pasal tentang korupsi ke KUHP. Padahal, pasal-pasal tindak pidana korupsi dikeluarkan dari KUHP sejak 1960-an karena pemerintah kala itu menganggap tindak pidana korupsi butuh penanganan khusus.
Selain berharap tidak ada pelemahan melalui revisi UU KPK, juga muncul harapan agar seleksi calon pimpinan KPK yang akan dimulai di DPR pekan ini menghasilkan sosok yang berintegritas dan tak bermasalah.
Saut Situmorang berharap lima orang yang pada akhirnya nanti akan menjadi pimpinan KPK 2019-2023 bisa datang dan sesuai dengan nilai-nilai KPK. Ia menegaskan, siapa pun yang dipilih kelak tak akan bisa sesuka hati saat berada di KPK. ”Di KPK ada sistem nilai yang sudah jelas. Checks and balances jelas. Pengawasan internal dan pengaduan masyarakat sudah jelas,” kata Saut.
(REK/SAN/INK/EDN/MTK)