SEMARANG, KOMPAS - Dengan keragaman cita rasa kopi Indonesia yang telah mendunia, sudah saatnya menjadikan kopi sebagai salah satu produk andalan Indonesia. Maka perlu terus diciptakan nilai tambah baik dari sisi hulu maupun hilir kopi.
Besarnya potensi kopi terungkap di dalam diskusi "Kopi Indonesia yang Mendunia dan Gaya Hidup Masa Kini" yang diselenggarakan Bank Central Asia, Sabtu (7/9/2019), di Semarang, Jawa Tengah. Peluang Indonesia tidak hanya sekadar mengekspor kopi, tetapi menjadikan kopi sebagai produk unggulan Indonesia.
"Masyarakat Indonesia mulai sadar bahwa kopi sudah bisa menjadi andalan. Namun, kopi sekarang baru sebatas menjadi gaya hidup dan bisa turun. Maka harus terus kreatif untuk menciptakan nilai tambah," kata Akademisi dari Program Studi Magister Agribisnis Universitas Diponegoro Bambang Dwiloka.
Indonesia menjadi negara pengekspor kopi kelima terbesar di dunia. Kementerian Pertanian 2017 mencatat, produksi kopi yang diproduksi PTPN di Indonesia mencapai 637.539 ton, sementara produksi masyarakat sekitar 300.000 ton.
Produksi kopi dunia sekitar 9,5 juta ton dan diperkirakan kebutuhan kopi dunia mencapai 10,5 juta ton. Sementara ekspor kopi dari Indonesia mencapai 600.000 ton dalam setahun.
Menurut Bambang, penciptaan nilai tambah kopi dapat dilakukan baik di hulu maupun hilir. Nilai tambah tersebut dapat berupa informasi maupun cara-cara mengolah kopi yang lebih variatif.
Salah satu cara menciptakan nilai tambah tersebut, lanjut Bambang, adalah dengan memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat kopi bagi kesehatan tubuh. Kopi yang diminum tanpa gula memberikan manfaat sebagai antioksidan karena mengandung senyawa polifenol.
Assessor untuk Barista atau Peracik Kopi yang juga pelaku usaha kopi "Kopisob" Reza Adam Ferdian mengatakan, secara perlahan konsumsi kopi di Indonesia berubah dari sekadar gaya hidup menjadi kebutuhan. Setidaknya ada 10 kopi Indonesia yang telah mendunia, antara lain kopi Toraja, Sidikalang, Ijen, Gayo, dan Linthong.
"Menurut saya, dalam kopi itu 1 persen adalah kafein, sementara 99 persen lainnya adalah cerita. Tinggal pilihannya mau budaya kopi yang mana," kata Reza.
Dengan demikian, semakin banyak kedai kopi dibuka, semakin banyak pula peminum kopi. Di Indonesia, jumlah peminum kopi robusta lebih banyak dibanding kopi arabica yakni satu peminum kopi arabica berbanding tiga peminum kopi robusta.
Menurut Reza, tantangan petani kopi saat ini adalah meningkatkan produksi, menjaga kualitas, dan menjaga agar berkelanjutan. Sebagian besar petani kopi telah mengetahui cara bertanam kopi yang baik, namun masih kurang untuk mencari pasar bagi kopinya.
Komisaris Independen BCA Cyrillus Harinowo mengatakan, jika pada dekade 80-an ekspor Indonesia didominasi ekspor migas, tahun 2018 lalu ekspor Indonesia sudah didominasi ekspor non migas. Selama periode tersebut berbagai produk baru bermunculan dan menggeser ekspor migas, seperti minyak sawit dan komoditas pertambangan.
Di sisi lain, kelas menengah di Indonesia tumbuh pesat. Hal itu mendorong konsumsi berbagai produk olahan naik secara signifikan, terutama seperti produk olahan susu dan coklat. Harinowo menilai, kopi pun ke depan berpotensi untuk berkembang.
"Selama ini kita hanya berkutat pada kopi sebagai komoditas. Maka sekarang bagaimana membuatnya agar lebih bernilai, yakni tidak hanya menjadi komoditas tetapi branded product," kata Harinowo.
Menurut Harinowo, berkaca pada populernya sebuah merk penjual kopi asal Amerika Serikat, bukan tidak mungkin hal itu ditiru di produk kopi Indonesia. Dengan demikian nilai tambah bagi petani juga semakin besar. (NAD)