Korupsi Bisa Membudaya, Antropolog Indonesia Tolak Revisi UU KPK
Antropolog Indonesia menyatakan, revisi UU KPK adalah upaya sistematis pelemahan pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika itu terjadi, para antropolog ini menilai lama-kelamaan korupsi di Indonesia bisa menjadi budaya.
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Antropolog dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia menolak rencana DPR untuk merevisi UU KPK. Menurut para antropolog ini, revisi UU KPK merupakan upaya sistematis pelemahan pemberantasan korupsi di Indonesia. Apabila itu terjadi, para antropolog ini menilai lama-kelamaan korupsi di Indonesia bisa membudaya dan dianggap sistem nilai yang wajar atau lumrah.
Selain itu, dalam pernyataan tertulis yang diterima Kompas, Senin (9/9/2019), antropolog Indonesia ini juga menilai, revisi UU KPK jelas merupakan kemunduran dalam pemberantasan korupsi karena isi RUU KPK versi DPR justru melemahkan KPK. Padahal, KPK merupakan lembaga penegak hukum yang jadi role model dan sukses serta dijadikan contoh bagi sejumlah negara. Selain itu, KPK juga merupakan anak kandung reformasi, gerakan politik pasca-1998 yang menginginkan agar Indonesia bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
”Memantau perkembangan politik dan hukum terakhir di mana ada upaya secara sistematis pelemahan KPK melalui RUU KPK, termasuk RUU KUHP. Hal ini menunjukkan kemunduran upaya pemberantasan korupsi yang seharusnya diperkuat dan menjadi semangat dalam membangun martabat bangsa dan negara. KPK adalah model sukses di dunia, sekaligus anak kandung reformasi yang mestinya dijaga dan diperkuat,” ujar antropolog dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Yudi Febrianda.
Antropolog Indonesia juga melihat, upaya pelemahan pemberantasan korupsi kali ini sangat sistematis. Selain melalui revisi UU KPK, pemilihan calon komisioner KPK yang kini menyisakan 10 nama untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR juga bagian dari pelemahan pemberantasan korupsi.
”Seakan tidak cukup dari sisi legislasi, darurat antikorupsi tergambar dalam polemik seleksi capim KPK yang diduga syarat konflik kepentingan, jelas bertentangan dengan amanah reformasi dan tujuan bernegara sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar Negara 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan menuju kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Yudi.
KPK adalah model sukses di dunia, sekaligus anak kandung reformasi yang mestinya dijaga dan diperkuat.
Menurut antropolog dari Universitas Indonesia, Yando Zakaria, semestinya Indonesia bisa belajar dari kesalahan di masa lalu untuk tidak mementingkan kelompok orang atau golongan tertentu dan mengorbankan kepentingan masyarakat. Publik saat ini mendukung KPK karena dinilai sebagai lembaga yang paling berhasil dalam pemberantasan korupsi.
Untuk itu, antropolog Indonesia juga meminta kepada pemerintah, DPR, termasuk lembaga yudikatif, untuk lebih peka dan peduli. ”Wakil rakyat harus menjadi representasi yang memperjuangkan kemaslahatan publik, bukan malah menjadi motor kehancuran sendi-sendi hukum dan demokrasi yang sedang tumbuh dan berjalan membaik,” kata Yando.
Wakil rakyat harus menjadi representasi yang memperjuangkan kemaslahatan publik, bukan malah menjadi motor kehancuran sendi-sendi hukum dan demokrasi.
Sementara antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, PM Laksono, menyatakan, Presiden Joko Widodo harus berpikir dan bekerja sungguh-sungguh untuk menjamin dan melindungi hak-hak warga negara dalam berdemokrasi, termasuk memperjuangkan dan memperkuat gerakan antikorupsi. Presiden Jokowi diingatkan agar tidak ikut melemahkan KPK dengan menyetujui revisi UU KPK. Apabila itu yang terjadi, sama saja pemerintah menginginkan budaya korupsi tumbuh subur di Indonesia.
”Maka, kami, antropolog Indonesia, tidak menginginkan korupsi membudaya di negeri ini melalui pembiaran dan pembenaran, baik secara tidak langsung maupun secara sistematis. Pembiaran dan pembenaran korupsi melalui berbagai cara akan menjadikan nilai korupsi yang tadinya adalah negatif atau tidak normal menjadi positif atau normal alias wajar. Jika ini sampai terjadi, jelas akan merusak moral dan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan benegara,” kata Laksono.
Dalam pernyataan bersama antropolog Indonesia dari berbagai perguruan tinggi tersebut, mereka menyatakan menolak segala bentuk pelemahan terhadap KPK sebagai garda depan dalam pemberantasan korupsi. Antropolog yang juga ikut menandatangani pernyataan di antaranya Damaria Pakpahan dari UGM; Fajri Rahman dari Universitas Andalas, Padang; dan Tasrifin Tahara dari Universitas Hasanuddin, Makassar. (*)