Membawa Mata Dunia ke Pulau-pulau Kecil
PBB mencatat 58 negara dan teritori pulau kecil dalam kelompok, yang disebut PBB, sebagai ”penjaga” lautan. Negara-negara ini terancam oleh kenaikan air laut akibat perubahan iklim. Indonesia berkepentingan terhadap mereka.
Mereka adalah penjaga lautan. Demikian Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut kelompok Negara-negara Pulau Kecil Berkembang (Small Island Developing States/SIDS). Akan tetapi, ironisnya: mereka sekaligus terancam oleh kenaikan permukaan air laut yang dipicu perubahan iklim.
Di New York, AS, pada pekan terakhir September, nasib mereka akan dibahas lebih serius oleh perwakilan negara-negara dunia dalam sidang Majelis Umum PBB yang rangkaiannya dimulai pada 17 September. Tahun ini, beberapa forum berkaitan dengan masa depan negara-negara itu digelar.
PBB mencatat ada 58 negara dan teritori di Bumi dalam daftar SIDS, sebanyak 38 negara di antaranya anggota PBB. Mereka tersebar di Karibia, Pasifik, Laut Tengah, Samudra Hindia, hingga Teluk Persia. PBB menggelar forum untuk membahas pembangunan di SIDS. Forum berupa dialog tingkat tinggi itu mengevaluasi capaian Jalan Rencana Aksi Percepatan Modalitas SIDS (Samoa Pathway) yang dicetuskan di Samoa beberapa tahun lalu.
Direktur Urusan Ekonomi dan Sosial pada Sekretariat Jenderal PBB Liu Zhenmin menyebut Samoa Pathway adalah cetak biru bagi pembangunan berkelanjutan di SIDS. Telaah capaian atas langkah yang ditetapkan dalam dokumen itu akan melihat kemajuan dan kesenjangan dari rencana. Telaah itu juga akan menentukan prioritas di masa depan.
Dalam dokumen Samoa Pathway ditekankan soal pengembangan kemampuan SIDS dalam mitigasi dampak perubahan iklim, pengurangan risiko bencana, serta pengelolaan laut lestari dan berkelanjutan. Dibahas pula peningkatan keterhubungan antar-SIDS.
Ada pula forum soal Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) serta perubahan iklim. Bagi SIDS, tiga forum itu menyangkut kepentingan mereka. Mereka membutuhkan pertolongan dari luar—antara lain melalui forum-forum seperti di sela sidang MU PBB—untuk mencapai hal-hal dalam Samoa Pathway.
Sumber daya negara-negara itu, setidaknya dalam ukuran lazim internasional, terbatas. SIDS memang mempunyai banyak cadangan sumber daya alam. Masalahnya, saat ini mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan cadangan kekayaan yang tersimpan di laut dan dasar laut itu. Uang mereka terbatas, begitu juga penduduknya.
Sebagai gambaran, gabungan seluruh penduduk negara-negara di Pasifik Selatan hanya 2,3 juta orang. Lebih sedikit dibandingkan dengan penduduk Surabaya. Padahal, negara-negara Pasifik Selatan mempunyai wilayah laut dan daratan setara 15 persen permukaan Bumi. Sementara luas Surabaya tidak sampai 0,25 persen dari keseluruhan permukaan Bumi.
Lautan memang mendominasi wilayah SIDS. Mereka mengontrol 30 persen samudra dan laut di Bumi. Luas zona ekonomi eksklusif (ZEE) mereka bisa ribuan kali lipat dibandingkan dengan luas daratan mereka. ZEE Tuvalu, salah satu negara di Pasifik Selatan, setara 27.000 kali luas daratannya.
Kiribati, negara di Pasifik tengah, hanya mempunyai total luas daratan 800 kilometer persegi atau 140 kilometer persegi lebih luas dibandingkan dengan Jakarta. Sementara luas ZEE Kiribati mencapai 3,4 juta kilometer persegi atau 4.300 kali lebih luas dibandingkan total daratannya yang terdiri dari pulau-pulau kecil dan karang.
SIDS hanya mempunyai daratan terbatas dan sebagian permukaan daratan itu rendah. Kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim, daratan yang terbatas itu akan semakin terpangkas. Tanpa daratan, berarti tak ada tempat tinggal bagi warga negara-negara SIDS.
Inisiatif Indonesia
Sebagai tetangga dekat bagi SIDS di Pasifik Selatan, Indonesia tidak berpangku tangan. Indonesia telah melakukan berbagai inisiatif di Pasifik Selatan ataupun SIDS di belahan lain Bumi. Perubahan iklim, perhatian utama SIDS, turut diperhatikan Indonesia.
”Kita adalah mitra negara- negara Pasifik dan bagian tak terpisahkan dari kawasan ini. Indonesia siap memperjuangkan kepentingan negara kepulauan pada Konferensi Perubahan Iklim di Santiago, Desember 2019,” kata Desra Percaya, Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika pada Kementerian Luar Negeri RI.
Komitmen Indonesia pada SIDS, khususnya pada negara-negara di Pasifik Selatan, antara lain ditunjukkan lewat kehadiran Desra di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Forum Kepulauan Pasifik (PIF) di Tuvalu, Agustus 2019. PIF adalah forum kerja sama antar-negara-negara di kawasan Pasifik yang beranggotakan 18 negara/wilayah, yaitu Australia, Kepulauan Cook, Fiji, Polinesia Perancis, Kaledonia Baru, Kiribati, Kepulauan Marshall, Nauru, Niue, Federasi Mikronesia, Palau, Papua Niugini, Selandia Baru, Kepulauan Solomon, Tuvalu, Tonga, dan Vanuatu.
Selain hadir di kegiatan-kegiatan PIF, Indonesia juga rutin mengundang perwakilan PIF. Selain itu, Jakarta menyediakan sejumlah bantuan teknis untuk peningkatan kemampuan mitranya di Pasifik Selatan, antara lain dengan membantu meningkatkan kemampuan pengelolaan perikanan lestari. Perikanan kini menjadi salah satu mesin penggerak perekonomian negara-negara Pasifik Selatan. Mereka melihat Indonesia beberapa tahun terakhir sukses mengelola sumber daya perikanannya.
Bahkan, Indonesia membantu Tuvalu meningkatkan kemampuan dalam keprotokolan menjelang KTT PIF 2019. Indonesia juga tengah membahas perjanjian dagang dengan negara-negara Pasifik Selatan guna meningkatkan kerja sama ekonomi dengan mereka. Dampak semua inisiatif itu antara lain adalah sebagian negara Pasifik Selatan berulang kali menyatakan Papua bagian tidak terpisah dari Indonesia.