Mengembalikan Damai di Tanah Papua
Penyelesaian persoalan perlakuan yang layak dan kesenjangan di Papua menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan pemerintah. Dialog berbasis kultural diyakini bisa menyelesaikan persoalan di bumi Papua.
Hasil jajak pendapat Kompas mengindikasikan, persoalan Papua yang terjadi selama ini masih bisa diselesaikan dengan pendekatan adat dan budaya. Namun, penting pula digarisbawahi bahwa hal ini tidak berarti pendekatan ekonomi dan pembangunan yang dilakukan selama ini tidak penting.
Temuan jajak pendapat kali ini juga selaras dengan hasil diskusi di Redaksi Harian Kompas dengan tajuk ”Mencari Solusi Permanen atas Masalah Papua” yang digelar dua hari berturut-turut pada pekan lalu. Salah satu kesimpulan diskusi itu menyebutkan, pendekatan kultural yang memberikan perhatian pada martabat orang asli Papua dibutuhkan untuk mengatasi gejolak di Papua.
Selain pendekatan kultural, pendekatan ekonomi politik, seperti pemberian dana otonomi khusus yang lebih efektif, juga diperlukan untuk mengikis persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial antara Papua dan Papua Barat dengan provinsi lain di Indonesia. Perlu pula paparan narasi yang menyejukkan bagi warga di Tanah Papua yang mampu meyakinkan mereka bahwa persoalan politik saat ini bisa diatasi.
Kerusuhan yang terjadi di Papua dan Papua Barat beberapa waktu lalu muncul karena persoalan laten pengalaman psikopolitik warga yang terakumulasi sejak bergabungnya Papua ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kondisi itu menyebabkan sejumlah insiden seruan kebencian bernada rasisme dalam kasus penyerbuan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, akhirnya mampu menggerakkan massa di sejumlah wilayah di Provinsi Papua dan Papua Barat untuk berunjuk rasa.
Jajak pendapat ini mengungkap lebih kurang sepertiga responden menyatakan faktor pendorong kerusuhan yang terjadi di Papua disebabkan sebagian warga Papua termakan provokasi bahwa mahasiswa Papua akan diusir ke luar dari kota-kota di Jawa. Faktor pendorong lain adalah kesenjangan sosial yang parah antara wilayah Papua dan non-Papua. Hal tersebut diungkapkan 17,7 persen responden.
Responden jajak pendapat Kompas juga memahami bahwa kemarahan warga Papua disebabkan munculnya sebutan rasis dalam kerusuhan yang terjadi di Surabaya dan Malang beberapa waktu lalu. Pernyataan itu disuarakan 14,9 persen responden. Persoalan laten keinginan merdeka juga diyakini 12,2 persen responden sebagai salah satu faktor pendorong terjadinya kerusuhan
Kesetaran dan kesejajaran
Persoalan perlakuan negara terhadap warga Papua yang belum baik juga terlihat dari kegamangan responden dalam menilai perlakuan negara. Sebanyak 45,8 persen responden menyatakan perlakuan negara atau pemerintah terhadap warga Papua belum layak. Jumlah yang kurang lebih sama menyatakan sudah relatif layak.
Isu kesetaraan antara warga Papua dan warga negara Indonesia lainnya di sejumlah daerah juga terekam dalam jajak ini. Sebanyak 47,4 persen responden menilai warga Papua sudah diperlakukan setara atau sejajar oleh warga lain, sedangkan 43,8 persen menyatakan belum ada perlakuan yang setara atau sejajar. Proporsi jawaban yang demikian mengindikasikan persoalan kesetaraan warga Papua memang masih belum tuntas.
Hanya saja, responden juga berpendapat, selama ini warga Papua sudah memperoleh kesempatan yang sama seperti halnya WNI lainnya dalam hal menyampaikan aspirasi dan pendapat di mana pun mereka berada. Hal itu disampaikan 62 persen responden. Salah satu indikatornya, ada kesempatan yang sama bagi warga Papua seperti halnya WNI di provinsi-provinsi lain untuk menggunakan hak pilih dalam pilkada dan pemilu.
Meskipun demikian, publik melihat masih terdapat ketidaksetaraan terkait akses terhadap kebutuhan mendasar, seperti kemudahan memperoleh lapangan kerja, memperoleh pendidikan yang layak, dan kemudahan memperoleh pelayanan dan fasilitas kesehatan. Dalam hal-hal itu, responden jajak pendapat berpendapat warga Papua belum setara dengan warga negara Indonesia di daerah lainnya.
Terkait tuntutan referendum yang disuarakan sebagian warga Papua, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyatakan, pemerintah siap mendengarkan semua masukan dan tuntutan masyarakat Papua, kecuali terkait referendum (Kompas 4/9/2019). Mayoritas responden jajak pendapat (79,5 persen) juga menyatakan tidak setuju terhadap wacana referendum di Papua.
Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan mayoritas responden (88,4 persen) yang menyatakan khawatir referendum akan mengakibatkan Papua terlepas dari NKRI. Sebagian responden juga meyakini banyak kekuatan asing yang sedang mencari keuntungan dari konflik di Papua.
Terhadap kerusuhan di Papua beberapa pekan lalu, responden berpendapat upaya penyelesaian yang dilakukan pemerintah lewat pendekatan hukum dan keamanan dengan mengirim personel keamanan ialah upaya awal yang tepat agar kerusuhan tidak membesar. Namun, langkah itu harus segera diikuti langkah berikutnya, yakni pendekatan kultural.
Publik juga berpendapat, pembangunan sumber daya manusia merupakan aspek yang harus diprioritaskan. Pendapat itu disuarakan 45,6 persen responden jajak pendapat. Sektor pembangunan yang menurut responden perlu menjadi prioritas berikutnya ialah infrastruktur yang saat ini sedang berlangsung.
Pembangunan di bidang budaya juga menjadi program berikutnya yang harus diakselerasi pemerintah guna memajukan Papua. Dengan demikian, responden optimistis Joko Widodo dan Ma’ruf Amin yang akan memerintah 2019-2024 akan mampu mengembalikan kedamaian di bumi Papua.
Pelibatan warga Papua dalam pemerintahan, serta pengambil kebijakan mendengarkan aspirasi mereka dalam pengambilan keputusan merupakan bentuk upaya merangkul. Pelibatan generasi baru Papua yang terdiri dari anak muda juga mutlak dilakukan. Sebab, di tangan mereka, masa depan Papua nanti akan ditentukan.