Di Surabaya, Jawa Timur, aksi penolakan revisi UU KPK berlangsung sejak Minggu dan Senin (8-9/9/2019) dan diperkirakan masih akan terjadi hingga tuntutan tersebut dipenuhi Presiden Joko Widodo.
Oleh
IQBAL BASYARI
·2 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Sejumlah elemen masyarakat terus menyuarakan penolakan terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Di Surabaya, Jawa Timur, aksi penolakan berlangsung sejak Minggu dan Senin (8-9/9/2019) dan diperkirakan masih akan terjadi hingga tuntutan tersebut dipenuhi Presiden Joko Widodo.
Aksi unjuk rasa pada Senin dilakukan oleh belasan orang yang tergabung dalam Arek Suroboyo Peduli KPK di depan Gedung Negara Grahadi. Mereka berorasi sambil menaburkan bunga di atas spanduk bertuliskan ”Save KPK” yang menjadi simbol matinya pemberantasan korupsi jika revisi Undang-Undang KPK disetujui Presiden.
Sehari sebelumnya, Minggu, aksi serupa berlangsung saat hari bebas kendaraan bermotor (car free day) di Jalan Raya Darmo. Puluhan warga menandatangani kain putih sebagai simbol penolakan terhadap segala upaya pelemahan KPK.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang Wiratraman, mengatakan, kalangan akademisi Unair juga akan membuat pernyataan sikap untuk menolak revisi UU KPK. ”Puluhan dosen Unair akan memberikan pernyataan sikap penolakan revisi UU KPK di kampus Fakultas Hukum Unair, Selasa (10/9/2019),” katanya.
Menurut Herlambang, Presiden seharusnya tidak menyetujui revisi UU KPK yang berpotensi melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Sebab, pelemahan KPK menjadi bentuk kemunduran upaya pemberantasan korupsi yang seharusnya menjadi salah satu semangat reformasi. Presiden diharapkan terus menjaga semangat antikorupsi dengan menolak revisi UU KPK yang diinisiasi DPR.
”Kami selaku akademisi tidak menginginkan korupsi membudaya di negeri ini karena jelas akan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga dari kampus Unair, Surabaya, kami menolak segala bentuk pelemahan terhadap KPK sebagai garda depan dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Jika sampai UU KPK yang berisi hal-hal melemahkan, kami akan melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Pengacara M Sholeh, yang pernah menjadi kuasa hukum Bupati Pamekasan nonaktif Achmad Syafii yang tertangkap operasi tangkap tangan (OTT) KPK, mengatakan, penyadapan yang harus melalui izin Dewan Pengawas dikhawatirkan bisa membuat upaya OTT gagal. Selama ini OTT dianggap menjadi salah satu cara paling efektif dalam menangkap koruptor. Jika penyadapan harus melalui izin, dikhawatirkan penyadapan tersebut bocor ke koruptor yang sedang diawasi.
”Jika sampai UU KPK yang berisi hal-hal melemahkan, kami akan melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” kata Sholeh.
Sebelumnya, DPR menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejumlah kalangan menilai revisi itu berpotensi melemahkan KPK karena akan dibentuk Dewan Pengawas KPK, pembatasan asal penyidik KPK, penuntutan yang dilakukan KPK harus dikoordinasikan dengan Kejaksaan Agung, serta KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan.