RUU Pertanahan Segera Dibawa ke Pembahasan Tingkat Satu
Oleh
Brigitta Isworo Laksmi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Pertanahan segera dibawa ke pembahasan tingkat satu Panitia Kerja RUU Pertanahan DPR. Demikian hasil dari rapat antara panitia kerja dengan kementerian yang ditunjuk sebagai perwakilan dari pemerintah, Senin (9/9/2019). Ini berarti tinggal selangkah lagi Rencana Undang-Undang Pertanahan akan disahkan sebagai Undang-Undang Pertanahan.
Padahal, Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUUP) tersebut masih menuai kritik dari berbagai pihak baik dari pihak luar pemerintahan: yaitu dari akademisi, masyarakat sipil, dan organisasi non-pemerintah, juga dari pihak pemerintah sendiri seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang berwenang dalam pelaksanaan kebijakan terkait dengan kawasan hutan (Kompas, 9/9/2019).
Kritik tersebut antara lain menekankan bahwa RUUP tersebut justru bertentangan dengan Nawacita, visi Presiden Joko Widodo, dalam upaya mewujudkan keadilan agraria. Selain itu juga RUUP tidak memberi solusi terhadap konflik pertanahan yang angkanya sangat tinggi, RUUP juga semakin menyulitkan kembalinya wilayah adat kepada masyarakat adat, dan sebaliknya memuluskan perolehan tanah oleh pihak yang kuat secara ekonomi dan akses. Hal-hal tersebut terungkap dalam media briefing ke Komnas HAM, Jumat (6/9/2019)
Kompas.com melaporkan, Senin,rapat Panitia Kerja (Panja) Pertanahan dengan kementerian/lembaga yang telah ditunjuk sesuai amanat presiden, selesai dilaksanakan. Rapat tersebut dilakukan secara tertutup di Ruang Rapat Komisi II di Kompleks Parlemen.
"Seluruh pasal telah dibahas secara tuntas. (Soal rencana pengambilan keputusan tingkat satu) kita tunggu, kebetulan diminta standby," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) Himawan Arief Sugoto sebagaimana dilaporkan Kompas.com.
Hasil rapat tersebut akan langsung dibawa ke pembahasan tingkat komisi secara tertutup. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembahasan mini fraksi. "Sampai nanti dijadwalkan pengambilan keputusan tingkat satu, setelah menunggu pembahasan tingkat komisi," kata Himawan.
Menurut Himawan, secara substansi, tidak ada lagi polemik yang mencuat antara pemerintah dan DPR di dalam RUU tersebut. Dengan demikian, pembahasan pun dapat segera dilanjutkan ke tahap berikutnya. "Semua tergantung hasil ini (pembahasan komisi). Tapi secara muatan, teknis, sudah dibahas," tegasnya.
Guru besar Agraria dari Fakultas Hukum UGM Maria SW Sumardjono menjawab Kompas atas hasil pembahasan tersebut mengatakan, “Perubahan redaksional dalam “injutry time” (mengejar keterbatasan waktu) takkan tiba-tiba bisa mengubah tujuan RUUP dari cenderung memanjakan pemodal menjadi pro-Reforma Agraria.”
Dia menambahkan, “Jika RUUP yang sarat masalah, tidak adil, dan menghilangkan Nawacita sebagai rohnya itu dipaksakan untuk disahkan, konflik agraria akan semakin marak karena RUUP tidak menganggap penting keberadaan komisi independen untuk penyelesaian konflik agraria yang bersifat extra ordinary tersebut yang selama ini tidak pernah diselesaikan secara tuntas,” tegasnya.
Dia mengingatkan bahwa konflik agraria muncul sebagai dampak dari perlakuan yang tak adil antara yang kuat dan yang lemah. Dengan RUUP maka keadilan dalam akses dan pemanfaatan tanah semakin tidak terjangka dan keberlanjutan fungsi tanah takkan terjamin. “RUUP ini telah mengingkari amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, prinsip-prinsip dalam TAP IX/2001, dan Undang-Undang Pokok Agraria,” tambahnya.
Wilayah adat
Kritik tentang RUUP yang bakal semakin mempersulit masyarakat adat mendapatkan wilayah adatnya dikemukakan oleh Deputi II Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi, Jumat, di Komnas HAM.
Dalam salah satu pasal RUUP disebutkan bahwa tanah Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Usaha (HGU) yang tidak diperpanjang lagi masa berlakunya akan menjadi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). Sementara definisi TORA adalah tanah yang dikuasai oleh negara untuk didistribusikan atau diredistribusikan dalam rangka Reforma Agraria.
Dengan pasal tersebut, berarti tanah-tanah bekas HGB dan HGU tersebut bisa langsung menjadi tanah negara apabila tidak diperpanjang. “Padahal, tanah-tanah tersebut boleh jadi merupakan bagian dari wilayah adat yang dirampas melalui mekanisme perizinan dan peruntukan kawasan hutan,” tegas Erasmus.
Luas tanah yang diakui pemerintah sebagai wilayah adat saat ini baru sekitar 30.000 hektar. Sementara luas lahan yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan dan perusahaan industri berbasis lahan mencapai lebih dari 11 juta hektar,
Sementara itu konflik agraria menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah konflik agraria 2015-2018 ada 1.771 kasus. Kasus terbanyak, 642 kasus, terjadi di sektor perkebunan. Rincian konflik agraria terkait perkebunan: tahun 2015 ada 127 kasus, tahun 2016 ada 163, tahun 2017 ada 208, dan 114 kasus terjadi tahun 2018. Konflik di sektor perkebunan melibatkan perusahaan negara dan swasta.
Anggota komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga mengatakan, “Rancangan UU Pertanahan ini telah melahirkan impunitas terhadap korporasi (pemegang hak) yang menguasai lahan secara fisik melebihi luasan haknya.” Dia melanjutkan, “Padahal 2,7 juta lahan yang berkonflik karena konsesi ini sebagian besar adalah tanah yang merupakan wilayah hidup masyarakat (rakyat) dan sebagian perusahaan yang diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).”
Selain kritik di atas, Sekjen KPA Dewi Kartika dalam diskusi tentang RUUP di Gedung Ombudsman RI, Senin (9/9), sebagaimana dilaporkan Kompas.com, mengatakan, setidaknya ada delapan persoalan mendasar dalam RUUP. Di luar kritik-kritik di atas, menurut Dewi, RUUP bertentangan dengan UUPA 1960 (UU Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria) meski disebut akan melengkapi dan menyempurnakan yang belum diatur dalam undang-undang tersebut; tidak mengatur keharusan keterbukaan informasi publik sesuai keputusan Mahkamah Agung; secara menyimpang dan dengan kuat menerjemahkan Hak Menguasai dari Negara (HMN) menjadi jenis hak baru yang disebut Hak Pengelolaan (HPL) yang selama ini menimbulkan kekacauan penguasaan tanah dan menghidupkan kembali konsep domain verklaring yang telah dihapus dalam UUPA 1960. Domain verklaring adalah pernyataan yang menetapkan suatu tanah menjadi milik negara jika seseorang tidak bisa membuktikan kepemilikan tanah tersebut.