Menyambut Hari Olahraga Nasional 2019, semua pihak perlu mengevaluasi kembali komitmen terhadap pembinaan olahraga.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Ketiadaan komitmen para pemangku kepentingan olahraga dianggap sebagai pemicu utama tidak berjalannya sistem pembinaan olahraga. Padahal, Indonesia ditunjang dengan sumber daya manusia atau bibit atlet yang berlimpah.
Sekretaris Umum PB PASI Tigor M Tanjung mengungkapkan, sistem keolahragaan Indonesia sudah berjalan dengan baik dan berjejang. Di tingkat sekolah dasar dan menengah ada ajang Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) dan Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas). Di perguruan tinggi ada Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (Pomnas), disusul Pekan Olahraga Nasional (PON) di tingkat senior. Pembinaan atlet tersedia di Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP), Sekolah Khusus Olahraga, pemusatan latihan daerah hingga nasional.
"Kita tidak kekurangan wadah untuk membina atlet. Yang perlu hanya komitmen. Kalau semua itu dikelola dengan optimal, kita pasti bisa melahirkan banyak juara dunia di setiap cabang olahraga,” ujar Tigor di Jakarta, pekan lalu
Tigor mengatakan, Indonesia telah memiliki payung hukum berupa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Adapun fokus pemerintah lima tahun mendatang di bidang sumber daya manusia bisa menjadi momentum untuk meningkatkan prestasi olahraga.
"Kita akan mulai dari awal lagi jika mengubah sistem yang ada, dan tidak dapat apa-apa,” katanya. Sistem itu akan optimal jika pemerintah dan pengurus cabang olahraga berkomitmen menjalankannya. Tigor menilai komitmen itu masih rendah, misalnya pada poin pelatnas ditanggung negara pada UU 3/2005. Pada praktiknya, hal itu tidak berjalan mulus. Pelatnas PB PASI di Stadion Madya Senayan, Jakarta, tak jarang tergusur kepentingan komersial pengelolaan Kompleks GBK. Hal itu mengurangi waktu latihan pelatnas.
Adapun Ketua Umum PB PASI Bob Hasan mengutarakan, pengelola olahraga harus berani berkorban untuk mengelola suatu cabang olahraga. Contohnya ketua induk cabang olahraga jangan hanya mencari nama dengan jabatannya. Mereka juga harus mau bersusah payah mencari dana untuk pembinaan cabang olahraganya.
Induk cabang olahraga itu juga harus mandiri membina atlet-atletnya dan tidak hanya bergantung pada pemerintah. Mereka bisa menjalin kerja sama dengan perusahaan. "Saya ini keliling minta bantuan dari 20 perusahaan agar mau bantu pembinaan atlet PB PASI. Kan perusahaan itu ada dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Kalau satu perusahaan memberi uangnya 5 persen saja, kan lumayan kalau ada 20 perusahaan yang membantu,” kata Bob.
Butuh ketegasan
Selain komitmen, Ketua Umum PP PTMSI Oegroseno mengatakan, pembinaan olahraga nasional juga butuh sikap tegas pemerintah dalam menyikapi hambatan yang sering timbul di tengah perjalanan. Cabang tenis meja misalnya. Sejak 2013, cabang itu dihadapkan oleh konflik dualisme kepengrusan induk cabang olahraga, yakni antara PP PTMSI yang diketuai Oegroseno dan PB PTMSI yang kini diketuai Peter Layardi Lay.
Dualisme itu berdampak negatif terhadap proses pembinaan atlet. Bahkan, PP PTMSI yang mengirim atlet untuk SEA Games 2015 Singapura dan SEA Games 2017 Malaysia justru terombang-ambing untuk mengirim atlet ke SEA Games 2019 Filipina, karena Kemenpora belum bersedia melakukan MoU untuk memberikan anggaran pelatnas kepada PP PTMSI.
Padahal, PP PTMSI sudah melakukan pelatnas sejak April. Mereka hanya diberi anggaran untuk pelatnas selama tiga bulan. Jika lewat 10 September anggaran pelatnas belum disalurkan, anggaran itu sudah tidak efektif untuk pelatnas selama tiga bulan.
Sikap Kemenpora yang belum mau menandatangani MoU itu sangat mengganggu. Apalagi oegroseno mengklaim PP PTMSI sudah memenangi sengketa dualisme itu di PTUN sejak 2014. ”Masalah ini mungkin masalah kecil yang juga ada di cabang-cabang lain. Kalau pemerintah tidak bisa tegas, masalah ini bisa jadi besar yang bisa menjadi benalu dalam pembinaan olahraga nasional,” tuturnya.
Selain belum dapat bantuan dari pemerintah, PP PTMSI pun kesulitan merekrut atlet pelatnas. Dualisme kepengurusan itu juga sudah memecahbelah sikap pengurus-pengurus daerah. Tak sedikit pengurus dan atlet daerah tidak mau bergabung ke pelatnas dan memilih membela daerah di PON.
Untuk itu, menghadapi SEA Games 2019, PP PTMSI hanya bisa mengandalkan atlet-atlet muda yang berusia di bawah 18 tahun. ”Atlet muda itu belum terkontaminasi masalah dualisme tersebut sehingga masih punya semangat tinggi untuk bergabung dengan pelatnas demi membela negara,” ujar Oegroseno.
Butuh perombakan
Pengamat olahraga Fritz E Simanjuntak berpendapat berbeda. Dia mengusulkan perombakan pada sistem keolahragaan nasional karena banyak timpang tindih kebijakan. Ia menganggap terlalu banyak tangan yang mengelola olahraga.
Contohnya O2SN yang dipegang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Popnas oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga, serta Pomnas oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Hal itu dianggap membuat proses pembinaan tidak efisien dan efektif. ”Tidak ada sinergitas dalam pembinaan olahraga. Setiap pihak punya agenda dan tujuan masing-masing yang tak seragam,” katanya.
Fritz menyarankan pembinaan olahraga dikelola oleh satu badan yang kompeten, seperti contoh keberhasilan Australia. Di Negeri Kanguru itu, pembinaan atlet dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi dikelola induk cabang olahraga. Induk cabang itu berkompetisi untuk menghasilkan atlet elite yang layak membela negara di pentas internasional.
”Ketika muncul atlet elit, para atlet itu dikirim ke pemusatan latihan nasional yang di Australia bernama Australia Institute of Sport. Lembaga itu dikelola oleh pihak independen yang kompeten,” tuturnya.
Adapun pemerintah berperan memberikan intensif kepada induk cabang yang berhasil melahirkan atlet nasional. Dengan begitu, induk cabang akan berkompetisi untuk menghasilkan atlet elite untuk mendapat anggarand ari pemerintah.
Adapun performa atlet elite diukur dengan memanfaatkan teknologi berbasis digital. Jika mereka tidak memenuhi standar parameter tertentu, uang saku mereka dikurangi. dengan demikian semua atlet berkompetisi menjadi yang terbaik sejak dini. Kelak saat tampil di ajang internasional, mereka sudah matang karena ditempah dengan persaingan ketat dan standar yang baik.
”Saat ini, kebanyakan induk cabang hanya fokus membina atlet pelatnas karena dana pemerintah hanya untuk pelatnas. Pembinaan atlet di daerah tidak jelas oleh siapa. Atlet juga tidak punya parameter yang jelas dalam mengukur peningkatan grafiknya. Kebanyakan atlet pelatnas justru berada di zona nyaman. Beberapa malah performanya justru menurun,” ujar Fritz.
Perubahan harus dilakukan segera karena tidak ada proses yang instan. Australia mesrombak sistem keolahragaannya sejak 1981, setelah terpuruk pada peringkat ke-32 Olimpiade Montreal 1976 dan peringkat ke-15 Olimpiade Moskow 1980 dari peringkat ke-6 pada Olimpiade Munchen 1972.
Setelah perombakan itu dilakukan, mereka baru bisa menuai hasil positifnya ketika berada di peringkat ke-7 Olimpiade Atlanta 1996. Setelah itu, mereka menjadi salah satu raksasa olahraga dunia, terlepas dari peringkat mereka yang kembali melorot, yakni di peringkat ke-10 pada Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
”Jika dikelola dengan tepat dan fokus, kita juga mampu seperti itu. Tetapi, kita harus benahi dulu yang dasar-dasar. Selain membenahi sistem, kita juga perlu fokus pada cabang-cabang lumbung medali, seperti atletik, akuatik, dan senam. Kita punya modal besar karena punya banyak sumber daya manusia,” kata Fritz.