Sejumlah calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendukung sejumlah pasal bermasalah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK. Pandangan ini disampaikan saat saat uji kepatutan dan kelayakan di DPR RI.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG/AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-- Sejumlah calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi saat uji kepatutan dan kelayakan di DPR RI mendukung sejumlah pasal bermasalah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK. Mereka menilai pasal itu bukan untuk melemahkan KPK, melainkan untuk memperkuat lembaga anti rasuah tersebut.
Calon Pimpinan (Capim) KPK Irjen Pol Firli Bahuri tidak ingin berkomentar banyak terkait revisi RUU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, ia menyetujui pembentukan Dewan Pengawas KPK dan penerapan surat penghentian penyidikan perkara atau SP3.
"Berdasarkan UUD 1945, kewenangan untuk membentuk UU dan maupun merevisinya adalah hak pemerintah dan legislatif. Saya kira seperti itu dan akan kami patuhi itu," ucapnya seusai mengerjakan makalah sebagai salah satu tahapan uji kepatutan dan kelayakan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (09/09/2019).
Firli menjelaskan, ia setuju dengan adanya pembentukan Dewan Pengawas KPK karena bertujuan untuk memperkuat KPK. Padahal, sejumlah koalisi masyarakat sipil menilai, pembentuk Dewan Pengawas dapat mengganggu independensi KPK. Pembentukan Dewan Pengawas ini tertuang dalam draf pasal 37 RUU KPK.
"Kemudian, terkait SP3, dalam pasal 109 ayat 2 UU nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur SP3 bisa dilakukan jika, satu perkara tidak cukup bukti, tersangka meninggal dunia, dan bukan suatu peristiwa pidana. Itu saja yang akan kita jadikan pedoman," ujarnya.
Senada dengan Firli, Capim KPK Nurul Ghufron mengatakan, tidak mempermasalahkan pasal yang terkait SP3 yang ada dalam draf RUU KPK. Menurut ia, aturan terkait SP3 sudah tertuang dalam pasal 109 ayat 2 KUHAP.
"Tadi saya mengerjakan makalah dengan topik terkait SP3. Dalam makalah tersebut saya sampaikan bahwa proses SP3 merupakan mekanisme yang alami, sesuai dengan landasan hukum negara kita yang berlandaskan Pancasila," katanya.
Ketentuan SP3 ini masuk dalam pasal 40 (1) draf RUU KPK yang berbunyi, KPK berwenang untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan (SP3) terhadap tipikor yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun. Hal ini membuat KPK terganjal untuk menyelesaikan sejumlah perkara korupsi besar yang memakan waktu lebih dari satu tahun.
Sementara itu, ada pula capim KPK yang enggan mengomentari RUU KPK. Alexander Marwata, salah satu capim KPK menolak untuk berkomentar terkait RUU KPK. Ia pun mengatakan, tidak tahu adanya ketentuan bahwa para capim harus menandatangani kontrak untuk menyetujui RUU KPK.
Sebelumnya, anggota Komisi III, Arsul Sani mengatakan, bahwa para capim harus menandatangani kontrak yang menyatakan bahwa mereka setuju dengan RUU KPK. "Saya tidak tahu terkait adanya kontrak ini, hal ini belum dibicarakan," kata Alexander
Sebelumnya, Peneliti ICW, Donal Fariz, melihat materi revisi UU KPK yang diinisiasi DPR berpotensi melemahkan, bahkan melumpuhkan KPK. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo menjadi kunci agar pelemahan KPK tidak menjadi kenyataan. ”Presiden punya otoritas secara konstitusional untuk tidak menyetujui pembahasan revisi UU tersebut. Kalau Presiden tidak mau, tidak bisa DPR memaksakan pembahasan dan tidak mungkin pula RUU itu disahkan,” ucapnya.
Lobi-lobi politik
Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra Desmond J Mahesa mengizinkan capim KPK untuk melobi para anggota DPR di luar proses uji kepatutan dan kelayakan. Menurut ia, lobi-lobi tersebut merupakan hal yang wajar dan kerap terjadi di tiap proses seleksi capim KPK. "Lobi-lobi dalam hal silaturahmi boleh saja dilakukan. Namun hal tersebut, belum tentu menjamin mereka akan terpilih menjadi pimpinan KPK," katanya.
Senada dengan Desmond, anggota badan legislatif yang juga merupakan Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-P Masinton Pasaribu menyampaikan, lobi-lobi boleh saja dilakukan oleh para capim KPK. Namun, ia mengatakan, belum ada capim yang melobi Anggota Komisi III dari fraksi PDI-P. "Kami memperbolehkan lobi-lobi, selama itu untuk silaturahmi. Tetapi, jika mereka meminta untuk dipilih, tentu akan kami coret namanya," ucapnya.
Masinton mengatakan, para Capim KPK juga harus mengerti isi RUU KPK yang akan dibahas DPR nantinya. Ia pun meminta agar para capim nantinya bisa mengikuti peraturan perundang-undangan yang ada setelah terpilih. “Kami tidak ingin nantinya Capim KPK terpilih menjadi sosok anarki yang menentang peraturan perundang-undangan. Pada saat uji kepatutan dan kelayakan berjanji untuk menaati undang-undang, tetapi setelah terpilih malah membelot,” katanya.
Selain itu, terkait proses RUU KPK, Masinton yakin, Presiden Joko Widodo akan segera menyerahkan surat presiden agar pemerintah dan Komisi III bisa segera membahas kelanjutan RUU tersebut. Ia pun mengatakan, DPR akan terus memproses RUU KPK meski banyak mendapat kritik dari masyarakat. “Seluruh fraksi di DPR telah setuju agar RUU KPK segera dibahas. Kami pun juga tahu bahwa para pegawai dan pimpinan KPK mendesak presiden agar tidak segera mengirimkan surat kepada kami,” ucapnya.