Wali Kota Bekasi Klarifikasi Penggusuran Warga Aliran Jatiluhur
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menepis penggusuran warga sekitar daerah aliran sungai Jatiluhur melanggar hak asasi manusia. Kegiatan itu dilakukan untuk menata kawasan itu lebih baik.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi bertemu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk menjelaskan penggusuran warga sekitar daerah aliran sungai Jatiluhur, Senin (9/9/2019) di Jakarta. Wali Kota meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menjadi mediator antara pemerintah dengan warga terdampak penggusuran.
Pemerintah Kota Bekasi membongkar 74 rumah warga di Jalan Bougenvile Raya, Jakasampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (25/7/2019). Pembongkaran itu bagian dari upaya pemerintah menata bantaran di sekitar Daerah Aliran Sungai Jatiluhur. Namun, kegiatan pembongkaran itu ditentang warga, dengan alasan lahan tersebut susah ditempati warga lebih dari 20 tahun. Mereka juga menolak tawaran pemerintah kota untuk dipindahkan ke rumah susun sewa.
"Komnas HAM meminta klarifikasi terkait proses penertiban. Pemkot Bekasi menjelaskan tentang aset negara yang ditempati warga itu. Tugas kepala daerah adalah mengamankan aset negara. Setelah itu mengembalikan fungsinya," ucap Rahmat di Kantor Komnas HAM usai pertemuan.
Lahan gusuran akan dikembalikan ke fungsi semula sebagai sempadan sungai. Lanjut Rahmat, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat meminta pemkot mengembalikan fungsi lahan itu. Kemudian lahan akan ditata menjadi penampung air sebelum dialirkan ke polder di Perumahan Fajar, Bekasi Selatan.
Sistem polder adalah suatu cara penanganan banjir/rob dengan kelengkapan sarana fisik yang meliputi sistem drainase kawasan, kolam retensi, tanggul keliling kawasan, pompa dan pintu air sebagai satu kesatuan pengelolaan tata air tak terpisahkan. Manfaat sistem polder ialah mengendalikan air.
Persoalan ini berlarut karena belum ada titik temu atau kesepakatan antara pemkot dengan warga terdampak. Menurut Rahmat, pemkot tidak bisa memberikan uang kerohiman atau santunan sebesar uang ganti rugi.
"Pemkot berikan sekolah gratis, kesehatan gratis, dan rusun kepada warga. Tetapi hanya enam keluarga yang mau pindah kerusun. Ya kalau mereka mau silahkan, kalau tidak mau, kan tidak bisa dipaksa," katanya.
Klarifikasi Pemkot Bekasi ke Komnas HAM merupakan tindaklanjut atas pengaduan dari Yayasan Bantuan Hukum Nusantara 15 Juli lalu. Sesuai ketentuan Pasal 89 ayat 3 huruf c dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM berwenang melakukan pemanggilan kepada pihak yang diadukan untuk didengar keterangannya.
"Walikota bersedia difasilitasi untuk mediasi. Mediasi terkait apa yang bisa diberikan pemkot dan harapan atau keinginan warga. Nanti dimusyawarahkan, kami cari waktu yang tepat. Nanti diagendakan waktu dan tempatnya," kata Komisioner Mediasi Munafrizal Manan.
Komnas HAM mendorong atau menganjurkan pemda di seluruh Indonesia untuk mengupayakan penyelesaian terbaik dengan warga dalam berbagai kasus, khususnya penggusuran.
"Itu sesuai kewajiban konstitusi dan legal untuk melindungi, menghormati serta menegakan hak asasi manusia. Suatu lahan yang diperlukan untuk pembangunan terkait kepentingan umum jangan hanya kejar target selesai sehingga mengabaikan proses musyawarah dengan warga terdampak. Seharusnya bisa diselesaikan dengan mediasi," ucapnya.