Dua tahun lalu, sepak bola Italia disebut mengalami ”kiamat”. Untuk kali pertama dalam enam dekade, mereka gagal lolos ke putaran final Piala Dunia, di Rusia 2018. Italia berduka, mereka pun berbenah.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
Dua tahun lalu, sepak bola Italia disebut mengalami ”kiamat”. Untuk kali pertama dalam enam dekade, mereka gagal lolos ke putaran final Piala Dunia di Rusia 2018. Italia berduka, mereka pun berbenah. Generasi tua menyingkir untuk membuka jalan bagi anak-anak muda yang ”lapar”.
”Kami punya kebanggaan dan kekuatan. Setelah kejatuhan hebat ini, saya yakin kami akan menemukan cara untuk berdiri tegak kembali,” ungkap Gianluigi Buffon, mantan kiper nomor satu Italia, sambil berurai air mata usai timnas Italia disingkirkan Swedia pada playoff kualifikasi Piala Dunia 2018, November 2017.
Pernyataan Buffon itu, seperti dikutip FIFA, merupakan kalimat terakhirnya berbalut kostum ”Gli Azzurri”. Menyusul Buffon, sejumlah penggawa Italia lainnya, seperti bek Andrea Barzagli dan gelandang Daniele De Rossi, ikut pamit. Mereka ibarat trio ”Mohicans”, penjaga terakhir pasukan Azzurri saat juara menjuarai Piala Dunia 2006 di Jerman.
Namun, seperti kata pepatah, habis gelap terbitlah terang. Dari puing kehancuran di 2017, Azzurri dibangun ulang dengan fondasi tenaga muda dan gaya sepak bola progresif ala Pelatih Roberto Mancini. Revolusi itu mulai berbuah positif. Meskipun permainan mereka masih jauh dari sempurna, Italia melesat di kualifikasi Piala Eropa 2020. Tidak sekali pun mereka kehilangan poin dari enam laga yang dijalani.
Terakhir, mereka mengalahkan tuan rumah Finlandia 2-1 pada laga di Tampere, Senin (9/9/2019) dini hari WIB. Kemenangan itu membuat Italia kokoh memuncaki Grup J dengan 18 poin. Kemenangan atas Finlandia, tim di peringkat kedua Grup J, membuat Azzurri tinggal selangkah mengamankan tiket ke babak utama Piala Eropa 2020 yang akan digelar di 12 negara. Italia kini hanya butuh satu kemenangan untuk meraih tiket itu.
Capaian Italia itu lebih baik daripada kualifikasi Piala Eropa 2016 di Perancis. Saat itu, Italia mencatat tujuh kemenangan dan tiga kali imbang dari sepuluh laga kualifikasi. Kini, bersama Mancini, Italia telah mencetak tujuh kemenangan beruntun. Kekalahan terakhir mereka terjadi setahun lalu, dari Portugal, 0-1, di ajang Liga Nasional Eropa, September 2018.
”Laga melawan Yunani, 13 Oktober, bisa menjadi penentu kelolosan kami ke babak utama. Kami berharap ketika itu Stadion Olimpico akan penuh seperti di Piala Dunia 1990, saat kami masih muda,” ujar Mancini seusai laga di Tampere.
Jauh berbeda dengan dua tahun lalu, ketika masih diasuh pelatih keras kepala, Gian Piero Ventura, Italia kini lebih segar dan energik. Usia rata-rata pemain di skuad Azzurri saat ini 25,8 tahun. Hal Itu menjadikan mereka salah satu skuad termuda di Eropa selain Inggris, yang rata-rata 25,2 tahun. Italia kini antara lain bertenagakan Stefano Sensi (24), gelandang muda berbakat Inter Milan dan Federico Chiesa (21) yang membela Fiorentina.
Akhiri puasa gol
Kehadiran tenaga muda itu membuat Azzurri tampil agresif dan lebih berani menyerang. Karakter ofensif yang nyaris tidak pernah terlihat di Azzurri dua dekade terakhir itu membuat striker seperti Ciro Immobile (29) kembali percaya diri dan menemukan kembali ketajamannya. Sempat berpuasa gol selama dua tahun, ia akhirnya merobek gawang Finlandia.
”Sebelumnya, sangat berat tekanan saya alami karena tidak mencetak gol selama dua tahun dengan kostum ini. Tidak mudah pula bisa menang di sini. Namun, setelah penyesalan besar akibat kegagalan di (kualifikasi) Piala Dunia, kami kini kembali ke jalur semestinya,” ujar Immobile, seperti dikutip Football-Italia.
Mancini membenarkan, menyerang dan menggempur pertahanan lawan kini menjadi sebuah kebiasaan di timnya. Di era sebelumnya, seperti ketika diasuh Ventura, Italia sempat dikiritik karena tampil sangat pasif, lamban, dan hati-hati. Citra lama itu ingin dibuang oleh Mancini, pelatih yang sukses bersama Inter Milan dan Manchester City.
”Insting kami adalah menyerang. Anda bisa lihat sendiri, kami mendominasi jalannya laga dan tidak memberikan banyak kesempatan bagi lawan untuk menyerang,” ujarnya.
Di kualifikasi Piala Eropa 2020, rekor berkilau Italia itu hanya bisa disamai Spanyol. ”La Furia Roja” juga mengemas poin sempurna, yaitu 18 angka dari enam laga, menyusul kemenangan 4-0 atas Kepulauan Faroe, kemarin malam. Duo striker Rodrigo dan Paco Alcacer masing-masing mengemas dua gol pada laga di Gijon, Spanyol, itu.
Bersedia mundur
Kemenangan itu sekaligus menumbuhkan optimisme skuad La Roja yang baru ditinggal pelatihnya, Luis Enrique. Mantan Pelatih Barcelona itu mundur dari jabatannya pada Juni karena putrinya, Xana, jatuh sakit. Gadis kecil berusia sembilan tahun itu meninggal pada Agustus akibat kanker tulang. Posisi Enrique lalu ditempati asistennya, Robert Moreno.
Laga kontra Faroe menjadi kemenangan kedua La Roja bersama Moreno. Menyadari pentingnya Enrique, Moreno mempersembahkan kemenangan ini untuk sahabatnya. ”Persahabatan ini melampaui apa pun. Maka dari itu, jika ia ingin kembali suatu hari nanti, saya dengan senang hati akan mundur dan bekerja untuknya (kembali sebagai asisten),” ujar Moreno.
Pada laga kualifikasi lainnya, Inggris berupaya melanjutkan tren positif saat menjamu Kosovo di Southampton, Rabu dini hari pukul 01.45 WIB. Sebelumnya, ”Tiga Singa” tampil garang menghajar Bulgaria 4-0, akhir pekan lalu. Mereka kini bercokol di puncak Grup A dengan koleksi sembilan poin dari tiga laga. (AFP/JON)