Untuk memaksimalkan keuntungan diplomasi digital, seluruh negara harus berdialog mengenai masa depan ruang maya (cyber space) berlandaskan rasa saling percaya. Perlu ada tatanan internasional terkait ruang maya.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Revolusi industri 4.0 mulai mengubah cara diplomasi dari konvensional menjadi digital. Indonesia mendorong agar diplomasi digital digunakan sebagai alat pembangunan yang memberi dampak positif terhadap negara dan kawasan.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dalam pembukaan Regional Conference on Digital Diplomacy (RCDD) bertajuk Digital Diplomacy: Challenges and Opportunities di Jakarta, Selasa (10/9/2019), mengatakan, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuat konsep jarak dan waktu tidak lagi menjadi hambatan dalam berdiplomasi.
“Namun, teknologi informasi dan komunikasi membawa dua sisi, yaitu peluang dan tantangan. Kita harus memanfaatkan peluang yang muncul dan mengatasi tantangan yang ada,” kata Retno.
Dalam buku Digital Diplomacy: Theory and Practice, Marcus Holmes menjabarkan diplomasi digital sebagai diplomasi yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk diseminasi, pengumpulan, dan analisis informasi. Adapun diplomasi digital biasanya dilakukan melalui media elektronik, situs internet, dan aplikasi media sosial.
Retno menjelaskan, ada empat potensi pemanfaatan diplomasi digital. Diplomasi digital dapat digunakan sebagai penyebar pesan perdamaian, penghubung kerja sama ekonomi, perlindungan warga negara, dan pembangunan.
“Teknologi internet dan media harus digunakan untuk melawan ancaman terorisme, menjembatani kolaborasi di bidang ekonomi, dan menyediakan akses informasi secara faktual untuk perlindungan penduduk. Selain itu, kita harus menyediakan akses internet kepada seluruh lapisan masyarakat agar tidak ada lagi kesenjangan informasi,” tuturnya.
Duta Besar India untuk Indonesia Pradeep Kumar Rawat mengatakan, diplomasi digital menambah saluran hubungan suatu negara ke dunia luar. Tidak hanya itu, hubungan negara dengan rakyat di dalam negeri bertambah erat karena kebijakan luar negeri semakin transparan dan terbuka untuk kritik.
“Sekarang tantangannya adalah menyeimbangkan kedalaman konten dalam diplomasi digital yang dilakukan. Data yang ada juga banyak sehingga penting untuk menentukan bagaimana data diamankan dan dianalisis secara objektif,” kata Rawat.
Menteri Tetap Kementerian Luar Negeri Myanmar Soe Han menambahkan, tantangan lain yang harus diatasi dalam diplomasi digital adalah keamanan siber dan berita palsu. Data rahasia negara rentan terekspos secara daring sehingga bisa berdampak pada relasi antar-negara.
Wakil Presiden Asosiasi Diplomasi Publik Cina (CPDA) Luo Linquan menuturkan, untuk memaksimalkan keuntungan diplomasi digital, seluruh negara harus berdialog mengenai masa depan ruang maya (cyber space) berlandaskan rasa saling percaya. Dunia perlu menentukan tatanan internasional terkait ruang maya.
Media sosial
Direktur Pusat Penelitian Ekosistem Bisnis Digital, Telkom University, Andry Alamsyah, berpendapat, keberadaan media sosial turut berkontribusi terhadap perkembangan diplomasi kepada publik. Media sosial merupakan alat ampuh untuk mengelola interaksi dengan masyarakat dan citra suatu bangsa.
“Hal yang perlu diperhatikan adalah Kementerian Luar Negeri memerlukan strategi kontekstual untuk mengatasi hoaks dan berita yang tidak diinginkan. Diplomat dengan media sosial kini memiliki tugas untuk mengelola informasi, melakukan diplomasi publik dan negosiasi internasional, merencanakan strategi, serta memiliki manajemen krisis,” tutur Andry.
Duta Besar Jepang untuk Indonesia Masafumi Ishii merupakan salah satu pejabat diplomatik di Indonesia yang aktif menggunakan media sosial untuk berinteraksi. Ishii, misalnya, menggunakan Instagram untuk mempromosikan budaya Jepang dan Indonesia kepada para pengikutnya yang berasal dari kedua negara.
Akan tetapi, lanjutnya, interaksi melalui media sosial tidak dapat dilakukan sekonyong-konyong. Diplomat perlu membangun kredibilitas dengan berinteraksi langsung dengan audiens guna membentuk rasa percaya. Jika hal ini diabaikan, komunikasi melalui media sosial tidak akan efektif.
“Media sosial membuat saya dapat berkomunikasi dengan jangkauan yang lebih luas, terutama kepada generasi muda. Untuk memastikan persahabatan Jepang dan Indonesia bertahan lama, kami harus berkomunikasi dengan anak muda Indonesia dari sekarang karena dalam 20 tahun ke depan mereka akan menjadi pemimpin,” kata Ishii.