Kualitas udara di Jakarta belum membaik setelah penerapan perluasan ganjil genap di hari pertama, Senin (9/9/2019). Udara Jakarta berkategori tidak sehat di sejumlah lokasi pemantauan.
Oleh
Irene Sarwindaningrum/Nikolaus Harbowo
·5 menit baca
Kualitas udara di Jakarta belum membaik setelah penerapan perluasan ganjil genap di hari pertama, Senin (9/9/2019). Udara Jakarta berkategori tidak sehat di sejumlah lokasi pantau.
JAKARTA, KOMPAS — Berdasarkan pengukuran yang ditayangkan di situs www.airvisual.com, Senin siang, Jakarta menempati posisi kedua terburuk dari 89 kota besar di dunia dari sisi polusi udara debu halus berdasarkan PM 2,5 dengan index 151. Sepanjang Senin siang, Jakarta lebih baik dari Beijing dan lebih buruk dari Lahore. Kondisi ini tak jauh berbeda dari kondisi udara sebelum pemberlakuan uji coba perluasan ganjil genap atau sepanjang Januari-Juli 2019.
Kondisi udara Jakarta membaik sedikit pada Senin sore, tetapi rata-rata masih dalam kondisi tercemar tak sehat untuk kelompok sensitif dan tidak sehat. Pada Senin sore, Jakarta berada di urutan kedua terburuk dengan udara tercemar debu halus PM 2,5. Menurut www.airvisual.com, indeks pencemaran PM 2,5 Jakarta pada sore sebesar 133 atau tidak sehat untuk kelompok sensitif.
Adapun menurut pengukuran Kementerian Lingkungan Hidup, seperti terlihat pada Senin sore, dua titik pengukuran menunjukkan udara Jakarta tidak sehat karena tingginya cemaran ozone (O3) yang berbahaya untuk manusia.
Pengukuran ini terlihat di dua stasiun pengukur kualitas udara (SPKU), yaitu di Taman Pendidikan Dinas Pertamanan, Jagakarsa, Jakarta Selatan, dengan indeks O3 mencapai 124 dan di Taman Perumahan Kebon Jeruk dengan indeks O3 sebesar 101.
Adapun di tiga SPKU lainnya, yaitu di Monumen Pancasila Sakti, Kelapa Gading dan di Gelora, Jakarta Pusat, udara terukur tercemar sedang oleh polutan O3. Di Bundaran Hotel Indonesia, udara tercemar sedang, tetapi dari pengukuran debu halus ukuran 10 mikron atau PM 10 dengan indeks 53.
Kepala Seksi Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Agung Pujo Winarko mengatakan belum memantau kembali tingkat cemaran udara Jakarta setelah pelaksanaan perluasan ganjil genap. Akan tetapi, saat uji coba ganjil genap, hasil pengukuran kualitas udara membaik.
Belum pantau
Hasil pengukuran kualitas udara di Bundaran HI pada masa percobaan, terjadi penurunan konsentrat polutan debu halus PM 2,5 sebesar 18,7 persen dengan selisih 12 mikrogram per meter kubik dari sepekan sebelum uji coba perluasan ganjil genap. Di Kelapa Gading, terjadi penurunan 13,51 persen atau turun 7,57 mikrogram per meter kubik.
Perluasan ganjil genap merupakan inisiatif Jakarta, antara lain untuk mengendalikan kualitas udara, seperti tertuang dalam Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara.
Akan tetapi, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih mengatakan, tak ada target jangka pendek dalam pengendalian kualitas udara. Target yang ditetapkan merupakan target jangka panjang, yaitu tahun 2030 bisa mengikuti standar kualitas udara yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Hal ini karena pengendalian kualitas udara membutuhkan banyak langkah dari berbagai sisi.
Koordinator Komite Penghapusan Bensin Bertimbal Ahmad Safrudin mengatakan, belum adanya target jangka pendek ini menunjukkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum percaya diri terhadap kebijakan yang dilakukan. ”Kalau yakin, pasti ada target dari tiap langkah bisa mengurangi polusi udara sebesar berapa persen.”
Safrudin menilai Pemprov DKI seharusnya mempunyai target jangka pendek yang jelas dengan langkah yang konkret. Padahal, langkah-langkah konkret itu sudah terdapat dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Langkah konkret yang justru tak ditempuh itu di antaranya konversi bahan bakar minyak (BBM) menjadi bahan bakar gas (BBG) untuk kendaraan pemerintah dan kendaraan umum.
Selain itu juga penegakan hukum bagi kendaraan yang emisi kendaraannya melebihi baku mutu. Seharusnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa menggandeng kepolisian untuk penegakan hukum. Padahal, dengan langkah-langkah konkret ini akan lebih mudah mencapai target penurunan polusi udara dalam jangka pendek.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan, dalam perhitungan kualitas udara di Ibu Kota, Pemerintah DKI hanya mengacu pada tiga stasiun pemantauan kualitas udara (SPKU), yang bisa mendeteksi konsentrasi polutan jenis PM 2,5. Ketiga SPKU itu tersebar di Bundaran Hotel Indonesia (Jakarta Pusat), Kelapa Gading (Jakarta Utara), dan Jagakarsa (Jakarta Selatan).
”Airvisual itu, kan, mereka pakai datanya simulasi satelit, bukan hasil pengukuran. Data-datanya (Airvisual) pun bukan di spot-spot yang kami ukur. Kami tetap berpegang pada SPKU yang ada,” ujar Syafrin.
Terlepas dari itu, menurut Syafrin, Pemprov DKI kini tengah berupaya menekan polusi udara dari sisi transportasi, yakni dengan perluasan sistem ganjil genap. Ruas jalan yang dikenai ganjil genap pun ditambah, dari sembilan ruas jalan menjadi 25 ruas jalan.
”Di simulasi kami, kan, seharusnya di seluruh ruas jalan Jakarta, tetapi ini 25 ruas jalan dulu. Itu baru satu kebijakan yang kami harapkan bisa memberikan efek positif pada perbaikan kualitas udara,” tutur Syafrin.
Berdasarkan catatan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, transportasi darat menjadi penyumbang polusi terbesar di Ibu Kota, sebesar 75 persen. Sumber polusi lain adalah pembangkit listrik dan pemanas (9 persen), pembakaran industri (8 persen), dan pembakaran domestik (8 persen).
Meski begitu, Syafrin mengatakan, kebijakan ganjil genap bukanlah satu-satunya cara. Cara lain yang akan diterapkan Pemerintah DKI untuk membatasi kendaraan bermotor adalah penerapan sistem jalan berbayar (electronic road pricing/ERP) dan pengenaan tarif parkir yang tinggi.
Apalagi, lanjut Syafrin, pada 2020, Pemprov DKI akan memperketat aturan uji emisi bagi seluruh kendaraan yang melintas di Ibu Kota. Jika tak lolos uji emisi, kendaraan akan dibebani disinsentif berupa biaya parkir yang lebih mahal dibandingkan dengan tarif normal.
”Jadi, bisa double-double mahalnya tarif parkir kalau mereka tetap bawa mobil dan tak uji lolos uji emisi,” katanya.