Gerakan Kedaulatan di Hawaii dan Penghargaan Atas Masyarakat Adat
Pendekatan terhadap Papua haruslah menggunakan pendekatan adat dan sudut pandang Papua dalam posisi setara. Upaya semacam itu telah dicoba oleh Amerika Serikat terhadap Hawaii dan Perancis terhadap Kaledonia Baru.
Isu separatisme dan keberadaan kelompok separatis tidak hanya terjadi di Papua tetapi juga di beberapa negara lain yang juga berada di kawasan Pasifik. Di negara demokrasi yang sudah berusia 200 tahun lebih pun, yakni di Amerika Serikat, muncul gerakan kedaulatan dan kemerdekaan masyarakat asli, Ke’ea Hawai’i, di negara bagian Hawaii.
Kelompok Ke’ea Hawai’i menuntut kedaulatan atas Hawaii yang dianeksasi militer Amerika Serikat dan pendirian Republik Hawaii tahun 1893 – 1894 yang menumbangkan kekuasaan Ratu Hawaii Liliuokalani (1838 - 1917). Thomas J Craughwell dalam buku 5.000 Years of Royalty Kings, Queens, Emperors, and Tsars menulis, kelompok migran asal Amerika Serikat yang menganut paham aneksasi mendorong agar Hawaii menjadi bagian Amerika Serikat.
Langkah Ratu Liliuokalani memulihkan konstitusi Hawaii untuk mengembalikan hak-hak Kerajaan Hawaii ternyata dijadikan pintu masuk oleh golongan aneksasi, yakni para migran Amerika, untuk mengundang intervensi militer Amerika Serikat. Mereka berdalih melindungi warga negara Amerika Serikat dan harta bendanya. Ketika itu, banyak orang asing asal Amerika Serikat yang berbisnis di Hawaii, terutama usaha kebun tebu.
Ratu Liliuokalani kemudian ditumbangkan dari takhta. Dia meminta Presiden Amerika Serikat Grover Cleveland mengembalikan kekuasaanya namun tuntutan itu tidak dipenuhi. Mantan Ratu Hawaii itu hanya diberi kompensasi kebun tebu seluas 6.000 ekar dan pensiun 4.000 dolar AS per tahun. Liliuokalani kemudian mewakafkan hartanya kepada warga asli Hawaii melalui yayasan.
Setelah upaya aneksasi Hawaii, sempat terjadi pemberontakan rakyat Hawaii yang segera dipadamkan penguasa baru, yakni Amerika Serikat. Aneksasi penuh berlangsung selama tahun 1898, bersamaan dengan masa Perang Amerika Serikat-Spanyol yang berhasil memperluas wilayah Amerika Serikat dengan Kuba, Puerto Rico, Guam, dan Filipina.
Perlahan tapi pasti, warga asli Hawaii tersingkir oleh ekspansi bisnis pendatang terutama warga Eropa yang menetap dan mengembangkan bisnis di kepulauan Hawaii . Selain itu, uji coba nuklir di abad ke-20 juga semakin meminggirkan masyarakat Hawaii.
Sejak kedatangan orang kulit putih, diawali James Cook tahun 1778 yang disaksikan Kamehameha muda (kelak menjadi Raja Kamehameha I pemersatu Hawaii), populasi orang asli Hawaii menyusut dari semula 300 ribu jiwa menjadi hanya 60.000 jiwa di tahun 1850. Warga Hawaii terserang penyakit cacar yang dibawa Bangsa Eropa. Wabah lebih lanjut menghabiskan orang asli Hawaii di tahun 1920 hingga tersisa 24.000 jiwa saja!
Kongres Amerika Serika pada tahun 1993 secara resmi meminta maaf kepada masyarakat Hawaii atas pendudukan paksa di tahun 1893 serta atas perlakuan tidak adil kepada warga asli.
Taylor Kate Brown dari Kantor Berita BBC tanggal 2 November 2015 melaporkan munculnya tuntutan kemerdekaan Hawaii yang kemudian disikapi dengan dialog oleh Pemerintah Federal Amerika Serikat. Rangkaian sidang dengar pendapat dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri Amerika Serikat sejak tahun 2014 untuk membangun hubungan Pemerintah dengan Pemerintah (dalam sistem Federal Amerika Serikat) dengan pihak Hawaii.
Warga asli difasilitasi membentuk konvensi semacam Dewan Adat yang disebut “Aha”. Skema perwakilan adat diterapkan Amerika Serikat di wilayah Amerika Samoa dengan Parlemen Adat yang disebut “Matai”. Ada dua perwakilan untuk orang Eropa di luar 32 Matai warga asli Samoa Amerika yang wilayahnya terletak di sebelah timur Fiji.
Negara tetangga Samoa Amerika, yakni Samoa juga memiliki Dewan Adat Matai yang sama. Sedangkan di Republik Fiji juga diberlakukan hak–hak warga asli Fiji seperti hak permanen atas tanah.
Hingga kini proses dialog masyarakat asli Hawaii dengan Pemerintah Federal masih terus berlangsung dalam suasana damai. Sebagai pembanding, di daratan Amerika Serikat (mainland), suku asli Indian memiliki hak-hak khusus di wilayah mereka seperti hak permanen atas tanah adat, memiliki kepolisian tersendiri, dan lain-lain.
Peneliti senior LIPI pendiri Jaringan Damai Papua (JDP), Adriana Elisabeth menceritakan, kearifan lokal dan penghargaan terhadap masyarakat adat merupakan ciri khas wilayah Austro-Melanesia dan Polynesia. Acara dialog dalam format pertemuan adat adalah pintu pembuka untuk membahas dan menyelesaikan berbagai masalah. Pemerintah dalam format tersebut hadir mendengar keluh kesah warga, lalu ditindaklanjuti dengan mencari jalan keluar bersama.
“Ada pengakuan terhadap masyarakat adat dan keberadaan Big Man sebagai tokoh-tokoh pemimpin dari berbagai kesatuan adat seperti kita lihat di Papua, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Para tokoh Big Man ini adalah mitra dialog pemerintah. Selain itu, tentu saja para korban ketidakadilan dan kekerasan di masa silam juga harus didengar suaranya,” kata Adriana.
Dalam bukunya, Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya terbitan LIPI tahun 1995, antropolog Universitas Cenderawasih Jozhua Mansoben mencatat, keberadaan Big Man adalah bagian penting dari masyarakat adat di Pasifik Selatan terutama di Papua, Papua Nugini, dan Solomon. Mereka memimpin, mempunyai kekuatan ekonomi, serta berperang.
Di wilayah Pasifik yang menjadi kekuasaan Perancis pun, fenomena hubungan masyarakat asli dengan pemerintah pusat dalam dinamika politik yang tinggi juga terjadi. Semisal di Kaledonia Baru yang terletak di sebelah timur benua Australia atau sebelah barat daya Papua Nugini dan masih bertetangga dengan Provinsi Papua.
Penulis sejarah Indonesia-Perancis Kolonel (Purn) Jean Rocher yang juga mantan Atase Pertahanan Perancis untuk Indonesia ini menceritakan, di wilayah Kaledonia Perancis pun, hak-hak persamaan bagi warga asli Kanak diberikan, sama seperti warga Metropolitan Perancis di Eropa, yakni wilayah Perancis Daratan dan Pulau Korsika.
Tidak sedikit warga asli Kanak, walau sempat beberapa kali mengajukan referendum, tetap menikmati kemajuan dan kesejahteraan, seperti bersekolah dan menggunakan berbagai fasilitas kesejahteraan sama dengan warga Perancis lainnya. Kondisi ini juga dirasakan warga wilayah seberang lautan Perancis, seperti Polynesia Perancis, Guyana Perancis, Pulau Mayotte dekat Madagaskar, dan lain-lainnya.
Hingga kini, mayoritas penduduk Kaledonia Baru mayoritas memilih bergabung bersama Republik Perancis dan menikmati hak yang sama sebagai pemegang Paspor Perancis, yang memudahkan mereka bepergian keliling dunia dan bekerja di Eropa.
“Perancis menganut azas persamaan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali. Itu sebabnya, di Pulau Mayotte dekat Madagaskar, banyak migran datang untuk mendapatkan fasilitas kesejahteraan seperti yang disediakan Pemerintah Perancis di Eropa. Hal sama berlaku di Kaledonia Baru,” kata Jean Rocher.
Soal hak orang asli ini juga diterapkan Malaysia. Politisi asal Sabah, Malaysia Timur, Maximus Ongkili yang pernah menjadi menteri dalam pemerintahan PM Abdullah Badawi, menceritakan adanya hak-hak khusus bagi orang asli di Sabah dan Sarawak dalam sistem tata negara Malaysia.
Salah satunya adalah kewajiban bagi warga Semenanjung Malaya yang bepergian ke Sabah dan Sarawak untuk menggunakan paspor Malaysia. Ada perlindungan pada berbagai sektor bagi warga asli Sabah dan Sarawak.
Mantan Duta Besar Indonesia untuk Italia, Laksamana Muda (Purn) Freddy Numberi secara tegas berharap, pendekatan terhadap Papua haruslah dengan menggunakan pendekatan adat dan sudut pandang Papua dalam posisi setara.
“Masyarakat Papua itu ditipu Belanda dan kini dicurigai pemerintah Indonesia dengan stereotype tertentu. Padahal merujuk pada sejarah proses kolonisasi Papua dan perundingan Indonesia-Belanda, itu sudah jelas status Papua sebagai wilayah jajahan yang ada proklamasi sebagai koloni awal 1800-an. Lalu ada lagu hymne gereja sebagai puji syukur atas Tanah Papua pun dicurigai sebagai lagu kebangsaan. Demikian juga keberadaan bendera Bintang Kejora itu simbol daerah dan bukan simbol negara yang kini disalahmengerti,” Numberi menjelaskan.
Menurut Numberi yang ditemui akhir pekan lalu, kekhasan Papua haruslah dijaga, semisal hak-hak masyarakat asli, pembatasan migrasi ke Papua, dan peran masyarakat adat dan gereja harus diakomodir dalam peraturan turunan dari Otonomi Khusus (Otsus). Akan tetapi hingga kini tidak ada peraturan turunan dari Otsus Papua.
Derwes Jikwa, juru bicara Pemerintah Kabupaten Tolikara yang dihubungi terpisah berharap, masyarakat Papua dengan kekhasan adat Melanesia dan tradisi gereja yang kuat hendaknya menjadi salah satu warna dalam keragaman Indonesia yang dipertahankan. “Kalau identitas tersebut tidak diakomodir, masyarakat Papua semakin tersingkir,” kata Jikwa.
Secara terpisah, pengamat intelijen dan keamanan Stepi Anriani memuji langkah Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian yang mengedepankan dialog dengan masyarakat Papua. Stepi mengajar berbagai materi bidang keamanan dan pertahanan bagi aparat TNI, Polri, dan jajaran intelijen.
Ditambahkannya, meski dapat menggunakan kekuatan militer, Polri dan jajaran intelijen yang tetap memilih mengedepankan soft power dan membangun komunikasi dengan para tokoh Papua, menjadi langkah positif yang berbeda dengan situasi di masa silam.
Tokoh Papua Thaha Al Hamid dalam diskusinya dengan penulis berharap agar Indonesia tidak ragu-ragu menjadikan Papua sebagai pintu untuk bergaul dengan negara-negara di Pasifik yang selama ini dekat dengan Australia dan Selandia Baru.
“Seperti Indonesia aktif di ASEAN, hendaknya juga aktif bergaul di Pasifik Selatan sebagai bukti semangat persaudaraan dan membangun Papua,” kata Thaha Al Hamid.
Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Sejatinya keberadaan masyarakat budaya Austronesia–Melanesia–Polynesia yang hidup dari Madagaskar-Nusantara–Papua dan pulau-pulau Pasifik ini adalah satu entitas masyarakat multikultur yang biasa mengedepankan dialog dan kebersamaan dalam menghadapi berbagai masalah.