Pengelolaan hasil ikan di Maluku belum mengangkat ekonomi warga lokal. Pemerintah pusat dan daerah mesti bersinergi merancang kebijakan yang lebih adil.
AMBON, KOMPAS Sumber daya perikanan di wilayah Kepulauan Maluku mesti dikelola secara adil demi kesejahteraan warga setempat. Potensi konflik akibat kesenjangan ekonomi antara warga lokal dan nelayan pendatang harus dicegah. Pemerintah pusat dan daerah sama-sama bertanggung jawab.
Data Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku, Senin (9/9/2019), menyebutkan, dari 1.640 kapal ikan berukuran di atas 30 gros ton (GT) yang beroperasi di Laut Arafura, tak ada satu pun yang mempekerjakan warga lokal. Kapal-kapal itu berasal dari pantai utara Pulau Jawa. Pada 2018, kapal-kapal itu membawa ikan seberat 51.799 ton dari wilayah Kabupaten Kepulauan Aru. Jika dikonversi dengan harga ikan di Pantai Dobo sekitar Rp 30.000 per kilogram, nilainya mencapai Rp 1,5 triliun.
”Ada keluhan warga lokal, tetapi kami tidak dapat berbuat banyak. Ini menjadi potensi konflik yang jika tidak diatasi suatu saat akan meletus,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Romelus Far Far di Ambon.
Menurut dia, setiap kapal ikan membutuhkan 20-30 anak buah kapal. Artinya, potensi tenaga kerja lokal yang terserap bisa mencapai 49.200 orang. Padahal, banyak warga lokal punya pengalaman bekerja di kapal ikan. Sebelumnya, mereka bekerja di kapal-kapal ikan eks asing. Namun, mereka menganggur setelah pemerintah melarang operasi kapal ikan eks asing akhir 2014.
Adapun bantuan anggaran dinilai minim. Dana bagi hasil pemerintah pusat untuk perikanan di setiap kabupaten hanya Rp 983 juta per tahun. Sejauh ini, program pemberdayaan baru menyentuh 10 persen dari 150.000 rumah tangga nelayan di Maluku.
Padahal, potensi ikan di Maluku mencapai 3 juta ton per tahun atau setara 30 persen potensi nasional. Pemerintah Provinsi Maluku berharap pemerintah pusat menjadikan Maluku pusat pengelolaan perikanan nasional. Lewat program lumbung ikan, Maluku akan mendapat bantuan lebih besar.
Tak perlu perpres
Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, mengungkapkan, Pemprov Maluku seharusnya berwenang mewajibkan kapal-kapal dari Jawa mendaratkan ikan di pelabuhan setempat. Di Maluku ada 13 pelabuhan yang bisa dipakai untuk mendaratkan ikan.
KKP mendorong hasil tangkapan ikan di Maluku dilelang di pelabuhan setempat sehingga pemerintah daerah bisa memungut retribusi. Itu juga akan meningkatkan pendapatan nakhoda dan anak buah kapal. Susi juga mendukung penambahan anggaran peningkatan infrastruktur pelabuhan sehingga ekspor bisa dilakukan dari Maluku.
Terkait Perpres Lumbung Ikan, Susi menilai, regulasi tersebut tak diperlukan jika sekadar untuk memenuhi permintaan tambahan anggaran. ”Kami menghindari perpres begitu. Kalau hanya soal minta tambah anggaran, tinggal minta saja. Nanti semua (daerah) minta perpres. Yang jelas, setiap daerah yang memberikan sumbangsih pendapatan tinggi harus dinaikkan anggarannya,” tuturnya.
Susi sepakat, Maluku sudah saatnya lebih diperhatikan oleh pemerintah pusat. ”Saya akan mendorong Kementerian Keuangan untuk memberikan penambahan anggaran,” ujarnya.
Ketua Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, Ruslan Tawari berpendapat, Pemprov Maluku harus terlebih dahulu menunjukkan komitmen dan keseriusan dalam membangun sektor perikanan. Pihak akademisi bahkan belum mengetahui peta jalan yang jelas mengenai pengelolaan perikanan di Maluku.
”Jika konsep dan program di daerah sudah berjalan, program lumbung ikan itu hanya akselerator saja, bukan penggerak utama. Jadi, kesannya daerah tidak 100 persen menggantungkan harapan dari pemerintah pusat. Daerah harus lebih dahulu bergerak,” kata Ruslan. (FRN/LKT)