Jalan hidup Bianca Andreescu untuk mewujudkan mimpinya tak seperti anak-anak di Kudus yang terpaksa menyimpan mimpinya—menjadi pemain bulu tangkis besar—jauh di dasar hati dengan penuh kekecewaan karena tak punya daya.
Oleh
Trias Kuncahyono
·5 menit baca
Melihat permainan petenis muda dari Kanada, Bianca Andreescu (19), melawan ratu tenis, Serena Williams (38), di Arthur Ashe, Flushing Meadows, New York, Amerika Serikat, Sabtu lalu, pada final Grand Slam Amerika Serikat Terbuka, benar yang dikemukakan Johan Huizinga (1872-1945). Sejarawan dan teoretikus budaya asal Belanda ini dalam Homo Ludens; a Study of Play Element in Culture (1938) menyebut manusia sebagai makhluk bermain, makhluk yang suka bermain atau menciptakan permainan.
Menikmati permainan. Itulah salah satu faktor penentu kemenangan Bianca atas Serena, dalam dua set langsung 6-3 dan 7-5. Permainan memang harus dinikmati. Bermainlah untuk bahagia, kata Driyarkara. Saat Bianca pada set kedua memimpin 5-1, tetapi penonton sepenuhnya mendukung Serena yang kemudian mampu menipiskan selisih angka menjadi 6-5, Bianca tetap fokus pada permainan. Ia menang!
Dengan fokus pada permainan, Bianca bisa mewujudkan mimpinya. ”Apa yang saya mimpikan menjadi kenyataan,” kata Bianca.
Namun, mimpi tidak akan pernah menjadi kenyataan jika tidak ada tindakan untuk mewujudkannya. Dan, cara paling pasti agar mimpi menjadi kenyataan adalah mewujudkannya dengan usaha sepenuhnya, dengan totalitas penuh.
Hal itu persis seperti yang dikatakan Abdul Kalam, presiden ke-11 India (2002-2007), ”Mimpi bukanlah apa yang kamu lihat saat tidur. Tetapi, mimpi adalah sesuatu yang tidak membuatmu tidur.” Mimpi membuat orang tidak bisa tidur karena selalu memikirkan dan berusaha untuk mewujudkannya.
Kalam menambahkan, ”Mimpi, Mimpi, Mimpi. Mimpi berubah menjadi pikiran. Dan, pikiran menghasilkan tindakan.” Tanpa ada tindakan, adalah mustahil mimpi akan terwujud.
Dengan kata lain, mimpi akan menjadi kenyataan jika diupayakan untuk terwujud. Ketika diupayakan untuk terwujud, maka di sana ada harapan. Harapan bagi terwujudnya mimpi. Harapan adalah mimpi dari seorang yang terjaga, seperti harapan yang pernah diimpikan Martin Luther King Jr, ”Saya mempunyai mimpi di mana suatu hari anak laki-laki dan perempuan kulit hitam akan bergandengan tangan dengan anak laki-laki dan perempuan kulit putih.”
Jalan panjang harus dilalui oleh Bianca untuk mewujudkan impiannya. Ia mulai belajar bermain tenis sejak usia 7 tahun. Meskipun tenis adalah permainan, Bianca tidak pernah mempermainkan permainan itu. Ia selalu sungguh-sungguh bermain, termasuk sungguh-sungguh mempersiapkan diri.
Dengan totalitas penuh, Bianca mempersiapkan diri untuk bertarung menghadapi para petenis yang jauh lebih senior dan jauh berpengalaman. ”Saya tidak percaya ketika ini (menjadi juara Grand Slam US Open) menjadi kenyataan. Gila!” komentar Bianca atas keberhasilannya mewujudkan impiannya.
Bianca seperti mengamini apa yang dikatakan oleh Huizinga bahwa karakteristik bermain sebagai dorongan naluri dan aktivitas bebas. Ciri lain yang amat mendasar yakni kegiatan itu dilaksanakan secara sukarela dan tanpa paksaan. Namun, patut diingat bahwa sebenarnya Huizinga menegaskan permainan sebagai keberadaan yang ”tak serius”, tetapi di saat yang sama menyeret pemainnya untuk bermain intens atau habis-habisan. Itu yang dilakukan Bianca hingga ia memenangi pertandingan.
Sebab, mereka yang gagal dalam mewujudkan mimpi, bisa jadi bukan gagal karena kurangnya kemampuan, melainkan karena kurangnya komitmen dan totalitas dalam perjuangan serta karena faktor luar yang tak mungkin dihadapi.
Sebab, Bianca sadar bahwa hanya ada satu hal yang membuat mimpinya tidak mungkin terwujud, tidak mungkin diraih, jika dalam dirinya dirasuki rasa takut akan gagal. Kegagalan dan keberhasilan, menang dan kalah, adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari sebuah permainan, olahraga. Karena itu, dalam hati Bianca tidak mengenal rasa takut menghadapi siapa pun lawan, termasuk menghadapi ratu tenis, Serena Williams, pada babak final.
Rasa takut memang harus disingkirkan, termasuk rasa takut kalah. Sebab, dalam olahraga selalu ada menang dan kalah. Dan, setiap atlet harus memahami itu sepenuh hati. Tetapi, kegagalan dan kekalahan bukan akhir segala-galanya. Yang penting bukan berapa kali kalah dalam permainan, melainkan berapa kali bangkit dari kekalahan. Sebab, mereka yang gagal dalam mewujudkan mimpi bisa jadi bukan gagal karena kurangnya kemampuan, melainkan karena kurangnya komitmen dan totalitas dalam perjuangan serta karena faktor luar yang tak mungkin dihadapi.
Bianca mengatakan, ”Saya sudah memimpikan saat ini untuk waktu yang lama. Seperti yang saya katakan setelah saya memenangi Orange Bowl (pada 2015), beberapa bulan kemudian, saya benar-benar percaya bahwa saya bisa berada di tahap ini. Sejak itu, jujur saya sudah memvisualisasikannya hampir setiap hari. Untuk menjadi kenyataan itu sangat gila. Saya kira visualisasi ini benar-benar berfungsi.”
Mimpi Bianca yang diimpikan sejak kecil untuk menjuarai Grand Slam terwujud. Dan, sejak Sabtu lalu, ia sudah menggantungkan mimpinya di langit yang tinggi. Ia ingin menjadi pemain nomor satu dunia. Bukan tidak mungkin mimpi itu akan terwujud kalau ia terus berusaha mewujudkannya dan mendapat dukungan penuh dari orang-orang di sekitarnya.
Namun, ketika berbagai kepentingan mengintervensi dunia anak, dunia permainan, maka mereka pun tidak akan mampu berkembang secara normal dan wajar. Mimpi mereka pun hancur berantakan. Sebab, naluri bermain yang dilekati rasa cinta dan senang, meredup.
Jalan hidup Bianca untuk mewujudkan mimpinya tidak seperti anak-anak di Kudus yang terpaksa harus menyimpan mimpinya—untuk menjadi pemain bulu tangkis besar dan profesional—jauh di dasar hatinya dengan penuh kekecewaan karena tak punya daya.
Sebagai Homo ludens, anak-anak itu tidak bisa menikmati permainan yang di dalam permainan sebenarnya terdapat nilai pendidikan, menuju pendewasaan melalui pemberian rangsangan meliputi aspek fisik, mental sosial, dan moral yang berguna pada pencapaian pertumbuhan dan perkembangan secara normal dan wajar.
Namun, ketika berbagai kepentingan mengintervensi dunia anak, dunia permainan, maka mereka pun tidak akan mampu berkembang secara normal dan wajar. Mimpi mereka pun hancur berantakan. Sebab, naluri bermain yang dilekati rasa cinta dan senang, meredup. Padahal, naluri bermain itu melekat pada diri manusia sejak kanak-kanak. Semestinya mereka bisa menikmati permainan dalam hidupnya. Bermain dengan senang; mewujudkan mimpinya.
Akan tetapi, kini mereka dipermainkan oleh berbagai kepentingan dan kebijakan. Mimpi mereka pun tidak akan menjadi kenyataan. Ketika mereka bangun tidur, mimpi itu pun hilang, tidak seperti yang dikatakan Seneca (4 SM-65 M), filsuf Romawi, ”Dunia tertidur dan orang-orang sedang bermimpi. Tetapi esok ketika subuh tiba, kita akan bisa membuat mimpi kita menjadi kenyataan.”
Mimpi seorang anak, memang, beda dengan mimpi orang dewasa. Mimpi orang dewasa bisa dipaksakan kepada orang lain, terutama kepada anak-anak.