BANJARMASIN, KOMPAS Peningkatan prestasi olahraga mensyaratkan pembinaan atlet secara berkelanjutan dan tersedianya atlet pelapis yang berkualitas. Peringatan Hari Olahraga Nasional Ke-36 pada 9 September 2019 menjadi momentum agar semua pihak memperhatikan pembinaan atlet pelapis dan memunculkan bibit unggul yang berpotensi.
Kondisi darurat atlet pelapis menjadi salah satu poin evaluasi Kementerian Pemuda dan Olahraga setelah Asian Games 2018, melihat dominasi atlet senior pada jajaran peraih medali. Faktanya, kesenjangan prestasi antara atlet elite dan atlet lapis kedua di bawahnya terlihat di sejumlah cabang.
Di cabang atletik, misalnya, prestasi Lalu Muhammad Zohri, pelari tercepat Asia Tenggara dengan waktu 10,03 detik untuk lari 100 meter, terentang cukup jauh dengan rekannya. Hal ini terlihat dari catatan waktu tim estafet 4 x 100 meter putra yang belum kembali mencapai catatan waktu terbaik selepas pelari senior Fadlin pensiun setelah Asian Games 2018.
Kondisi serupa terlihat di tenis dan angkat besi. Di cabang tenis, prestasi Christopher Rungkat (29) yang mulai merambah babak utama Grand Slam di nomor ganda belum dapat diikuti rekan-rekannya yang lebih muda.
Sementara itu, kemampuan lifter Eko Yuli Irawan (30) jauh melampaui lifter muda di kelasnya. Kesenjangan tersebut terlihat saat juara dunia kelas 61 kilogram itu hanya membutuhkan satu angkatan untuk menjadi juara pada Kejuaraan Nasional PABBSI yang baru lalu.
Momentum kebangkitan olahraga untuk lebih berprestasi disebut Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi pada peringatan Haornas 2019 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Minggu (8/9/2019) malam. Tema Haornas 2019, ”Ayo Olahraga, di Mana Saja, Kapan Saja”, dipilih untuk mendorong gerakan olahraga di Tanah Air.
”Semakin masif berolahraga, masyarakat lebih sehat dan bugar, produktivitas meningkat. Selain itu akan ada lebih banyak memunculkan bibit unggul untuk dipoles menuju prestasi tertinggi,” ujar Deputi Pembudayaan Olahraga Kemenpora Raden Isnanta.
Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) termasuk induk cabang olahraga yang kerap menggelar kejuaraan yunior dan menjaring atlet muda masuk pelatnas. Ketua Umum PB PASI Bob Hasan mengatakan, hambatan mencari atlet pelapis adalah kurangnya minat masyarakat menggeluti atletik.
Fokus pada elite
Menurut Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PB PABBSI Alamsyah Wijaya, pembinaan olahraga selama ini yang terlalu fokus pada atlet elite kurang efektif untuk menciptakan prestasi jangka panjang yang berkelanjutan. ”Seharusnya dibuat lebih banyak ajang pencarian bakat, pemusatan latihan nasional untuk atlet yunior, dan kejuaraan di tingkat yunior,” katanya.
Alamsyah menilai belum semua cabang membina atlet hingga level terbawah. Pelatnas untuk atlet yunior juga tidak semuanya berjalan. Akibatnya, tak ada atlet pelapis berkualitas yang dapat menggantikan seniornya, seperti yang dialami Eko Yuli Irawan.
Menjelang Olimpiade Rio de Janeiro 2016, wacana bahwa Indonesia darurat lifter membuat PB PABBSI menyelenggarakan penjaringan atlet dan pengembangan bakat atlet di daerah. Bekerja sama dengan Deputi Pembibitan Olahraga Kemenpora, tiga tahun terakhir PB PABBSI mendampingi klub dan pusat pembinaan angkat besi agar pembinaan atlet berjalan optimal.
Selain itu, setiap tahun juga diselenggarakan kejuaraan nasional untuk atlet yunior, yaitu Satria Remaja. Hasilnya, sejumlah lifter yunior berbakat di kejuaraan itu dipanggil ke pelatnas, seperti Windy Cantika Aisah (kelas 49 kg), penerus lifter putri Sri Wahyuni; dan Rahmat Erwin Abdullah (73 kg), penerus Triyatno. ”Setelah Olimpiade 2020, tidak ada lifter kuat Indonesia. Ini yang harus jadi perhatian kita,” kata Alamsyah. (DRI/DNA/PDS/JUM)