Pemerintah mengkaji draf revisi UU KPK inisiatif DPR. KPK menilai perbaikan internal diperlukan, tetapi revisi UU KPK bukan solusi.
JAKARTA, KOMPAS Pemerintah mempelajari secara hati-hati draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjadi inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, pemerintah juga belum menerbitkan surat presiden yang menandai dimulainya pembahasan rancangan undang-undang antara pemerintah dan DPR.
Berbagai elemen masyarakat hingga Senin (9/9/2019) masih meminta Presiden Joko Widodo menolak revisi UU KPK pada akhir periode jabatan DPR 2014-2019, yang dianggap bisa melemahkan KPK.
Kemarin, Presiden Jokowi menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mempelajari draf RUU KPK itu. Yasonna memasuki Kompleks Istana Merdeka di Jakarta sekitar pukul 10.35. Tak sampai satu jam, ia kemudian meninggalkan Istana Merdeka. Kepada wartawan, Yasonna menjelaskan, Presiden Jokowi memberikan draf revisi UU KPK dan meminta agar draf ini dipelajari. Baru setelah itu, pemerintah akan bersikap.
Menurut Yasonna, ada beberapa hal yang menjadi perhatian Presiden dalam draf rancangan undang-undang tersebut. Namun, ia belum bersedia menjelaskannya. ”Kami harus mempelajari dulu. Pokoknya ada perhatian dan ini harus dipelajari hati-hati,” kata Yasonna. Mengenai surat presiden terkait pembahasan RUU KPK itu, Yasonna mengatakan, surat tersebut sampai kemarin belum diterbitkan.
KPK terus berbenah
KPK memahami pentingnya perbaikan di internal KPK. Namun, revisi UU KPK bukan jalan keluar karena UU yang berlaku saat ini masih menjamin efektivitas kinerja KPK.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, selama ini perbaikan internal dan pengawasan terhadap KPK melibatkan banyak unsur, baik internal maupun eksternal. Dari internal, ada pengawas internal, Dewan Pertimbangan Pegawai jika ada dugaan pelanggaran berat, dan Komite Etik jika pimpinan diduga melanggar etik.
Pengawasan dari eksternal untuk penanganan perkara dapat dilakukan melalui praperadilan hingga persidangan. Selain itu, KPK juga wajib melaporkan kinerjanya secara berkala kepada Presiden, DPR, Badan Pemeriksa Keuangan, dan masyarakat. Hal ini, antara lain, dilakukan dalam bentuk laporan tahunan, rapat dengar pendapat, dan audit keuangan.
Febri juga menyampaikan, KPK menghormati perintah Presiden Jokowi agar Menkumham Yasonna H Laoly mempelajari draf RUU KPK inisiatif DPR tersebut. KPK berharap hal itu dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Menurut Febri, apabila draf RUU KPK benar disahkan, kewenangan KPK dalam menyadap, menggeledah, dan menyita harus mendapat izin dari Dewan Pengawas yang dibentuk DPR atas usulan Presiden. Selain itu, personel penyidik KPK berasal dari Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, dan berstatus aparatur sipil negara. Sementara itu, dalam hal penuntutan, KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Revisi juga akan membuat penyidikan dan penuntutan dugaan korupsi yang tak selesai dalam waktu satu tahun boleh dihentikan KPK.
”Jika revisi yang terjadi mengandung poin-poin seperti yang dibahas akhir-akhir ini, bukan tidak mungkin KPK akan lumpuh dan kemudian mati,” kata Febri.
Potensi revisi terbatas
Di tengah penolakan publik, DPR tetap ingin merampungkan revisi UU KPK di periode ini. ”Tak tertutup kemungkinan Presiden mengeluarkan surat presiden yang isinya menyetujui membahas dan menunjuk para menteri, tetapi disertai lampiran catatan. Kalau Presiden setuju, semua tetap akan dikerjakan pada sisa waktu periode ini,” kata anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani.
Menurut dia, ada kemungkinan Presiden menyetujui revisi UU, tetapi meminta agar ada perubahan substansi. Misalnya, menghapus sejumlah poin revisi atau memperhalus rumusan redaksional beberapa pasal. Hal itu biasanya akan dirumuskan melalui daftar inventarisasi masalah dari pemerintah terhadap RUU inisiatif yang diusulkan DPR.
”Kami yakin Presiden juga melihat konstelasi politik di DPR. Sebab, jarang terjadi bahwa sebuah keputusan di DPR begitu menarik perhatian dan kontroversial, tetapi fraksi- fraksi sama dalam menyikapinya,” kata Arsul.
Menanggapi penolakan yang luas dari masyarakat, Arsul mengatakan, ”Dalam negara demokratis, wajar jika ada yang menerima dan menolak. Bagaimanapun, kewenangan pembentukan undang-undang secara konstitusional ada pada DPR dan pemerintah.”
Harapan masyarakat
Dari berbagai daerah, seperti di Surabaya dan Semarang, muncul aksi agar KPK tidak dilemahkan dengan revisi UU KPK yang terburu-buru.
Sebanyak 1.426 akademisi dari 28 universitas negeri dan swasta dari sejumlah daerah di Indonesia menyatakan menolak revisi UU KPK. Di laman petisi daring Change.org, petisi ”Indonesia Bersih, Presiden Tolak Revisi UU KPK!” sudah ditandatangani sekitar 33.000 pengguna internet. Sementara itu, di halaman Gedung KPK, Jakarta, aneka bunga dan buket bunga diletakkan masyarakat dan pegiat antikorupsi sebagai bentuk keprihatinan.
Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menyampaikan, KPK selama ini bukan sekadar sebagai institusi, melainkan menjadi simbol harapan masyarakat Indonesia terhadap pemberantasan korupsi.
Keberpihakan Presiden diyakini akan memberi proteksi dan perlindungan bagi lembaga dan aktor antikorupsi, baik dalam konteks keselamatan jiwa, kelancaran investigasi, efektivitas pencegahan, maupun pendanaan lembaga antikorupsi. (IAN/SHR/DIT/SYA/INA/AGE)