Presiden Jokowi Bisa Kehilangan Kepercayaan Publik
Sebanyak 146 peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menolak revisi UU KPK. Mereka mengingatkan Presiden Jokowi untuk tidak menyetujui revisi yang diusulkan oleh DPR tersebut.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penolakan dari publik terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi terus menguat. Kali ini, penolakan hadir dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Tak tanggung-tanggung, sejumlah profesor riset LIPI turut bergabung dalam penolakan. Selain menolak revisi, mereka juga mengingatkan, Presiden Joko Widodo bisa kehilangan kepercayaan publik jika menyetujui revisi yang diusulkan DPR tersebut.
Penolakan LIPI atas revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disuarakan di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa (10/9/2019). Penolakan ditandatangani 146 peneliti di LIPI, di antaranya bergelar Profesor Riset LIPI, seperti Syamsuddin Haris, Siti Zuhro, Asvi Warman Adam, dan Dewi Fortuna Anwar.
Dalam pernyataannya, mereka menentang setiap upaya yang berpotensi mengancam independensi dan melumpuhkan kinerja KPK. Mereka juga mendesak Presiden Jokowi menolak revisi UU KPK.
Syamsuddin menyampaikan, usulan revisi UU KPK yang diusulkan DPR dinilai cacat secara etik dan tidak memenuhi keabsahan. Sebab, rapat tersebut hanya dihadiri sekitar 13,7 persen anggota Dewan. Sementara keabsahan pengajuan RUU dapat dilakukan jika disetujui minimal 50 persen anggota Dewan.
Setelah membaca draf revisi UU KPK, dia melihat sejumlah pasal di undang-undang tersebut tidak direvisi, tetapi diubah. Pasal yang diubah tersebut tidak bertujuan untuk menguatkan, tetapi melemahkan KPK.
”DPR menekankan revisi UU ini untuk menguatkan pencegahan korupsi. Padahal, pencegahan itu bukan semata-mata tugas KPK,” ujarnya.
Siti Zuhro menambahkan, pengajuan revisi yang serba mendadak akan menghasilkan produk yang cacat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Seharusnya, sebelum revisi undang-undang ditempuh, didahului dengan adanya naskah akademik yang menjelaskan tujuan undang-undang direvisi, urgensinya, isu krusial, hingga pasal yang akan direvisi.
Selanjutnya, digelar uji publik atas isi naskah akademik agar masyarakat mengetahui sekaligus untuk memperoleh masukan publik. Proses-proses tersebut yang tidak tampak dalam proses revisi UU KPK.
Dewi Fortuna menilai, peran Presiden sangat berpengaruh untuk menuntaskan polemik revisi UU KPK ini. Dia berharap, Presiden Jokowi dapat menolak revisi karena citranya sebagai tokoh yang relatif bersih.
Presiden juga mempertaruhkan reputasinya yang selama ini selalu berkomitmen memberantas korupsi.
Namun, jika sebaliknya yang terjadi, Presiden akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Presiden juga akan mempertaruhkan reputasinya yang selama ini selalu berkomitmen memberantas korupsi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Presiden Jokowi memiliki waktu 60 hari untuk memberikan sikap terhadap usulan revisi undang-undang. Sikap tersebut disampaikan melalui surat presiden yang dikirimkan ke DPR.
Meski demikian, hingga saat ini Presiden belum menentukan sikap karena draf revisi UU KPK masih dipelajari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Penolakan lain
Sebelumnya, akademisi dari sejumlah perguruan tinggi telah menegaskan penolakan terhadap revisi UU KPK. Mereka di antaranya berasal dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Diponegoro, Universitas Paramadina, dan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Dalam pernyataannya, akademisi Universitas Paramadina meminta kepada Presiden Jokowi agar berkomitmen penuh pada penguatan KPK. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong optimalisasi fungsi pencegahan guna mengimbangi kapasitas penindakan KPK.
Selain itu, Presiden diminta memperkuat kapasitas pemulihan aset KPK sebagai bagian integral dalam upaya memunculkan efek jera dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sementara akademisi dari kampus UGM menyebut, rakyat Indonesia dikejutkan oleh Rapat Paripurna DPR yang menyetujui usulan revisi UU KPK. Pembahasan RUU dilakukan tanpa mengindahkan aspek transparansi, aspirasi, dan partisipasi publik.