Industri Manufaktur Keluhkan Suku Bunga Kredit yang Tinggi
JAKARTA, KOMPAS – Suku bunga kredit perbankan yang cenderung tinggi akan menghalangi percepatan pengembangan industri manufaktur. Persoalan suku bunga yang kurang kompetitif dibandingkan negara-negara tetangga ini perlu diselesaikan untuk memacu industri.
Sebelumnya, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyepakati langkah strategis memacu industri manufaktur khususnya di tiga sektor prioritas, industri otomotif, tekstil dan produk tekstil, serta alas kaki.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, kondisi tiga sektor yang diprioritaskan pemerintah tersebut cenderung sehat. Namun, untuk akselerasi, perlu peran perbankan dalam penyaluran kredit yang lebih maksimal.
“Suku bunga pinjaman di level pelaku usaha harus jauh lebih kompetitif dibanding di negara-negara pesaing kita. Khususnya untuk UMKM yang berorientasi ekspor,” kata Shinta, Selasa (10/9/2019), kepada Kompas.
Indonesia masih kalah dibandingkan Thailand dan Vietnam dalam memberikan bunga kredit yang rendah ke UMKM. Adapun suku bunga kredit mikro bank nasional berkisar 15-18 persen.
Shinta mengucapkan, bunga yang rendah akan membuat pelaku usaha lebih ekspansif dalam mengembangkan usahanya.
Menurut Shinta, ketentuan pemberian pinjaman modal untuk industri juga perlu direlaksasi. Kebijakan selama ini menyulitkan industri kecil, menengah, dan baru untuk memperoleh pinjaman karena mensyaratkan adanya jaminan.
“Kebijakan ini seharusnya dipertimbangkan lagi agar prinsip prudensial tersebut tidak mengekang potensi-potensi usaha yang sebetulnya bisa dikembangkan lebih jauh oleh pelaku usaha,” kata Shinta yang juga menjabat Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional.
BI sebenarnya telah melonggarkan kebijakan moneter dalam upaya mendorong penurunan suku bunga kredit. Dalam tiga bulan terakhir, BI menurunkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 5,5 persen.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo meyakini penurunan suku bunga acuan dapat melonggarkan ruang pembiayaan bagi industri manufaktur. Jika kinerja industri membaik, pertumbuhan ekonomi secara nasional dapat turut terdongkrak. (Kompas.id, Rabu 4/9/2019).
Baca juga : Industri Manufaktur Diperkuat
”Masalahnya, yang selama ini terjadi adalah permintaan yang muncul tidak dalam jumlah besar. Harapannya, dengan diturunkan suku bunga, semakin memberikan amunisi untuk sektor ekonomi terus tumbuh, terutama sektor manufaktur,” kata Dody.
Perbankan pun berkomitmen menyesuaikan suku bunga kredit terhadap penurunan suku bunga acuan. Namun, hal ini tidak bisa segera.
Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Ryan Kiryanto menjelaskan, suku bunga kredit sejauh ini masih kompetitif bagi pelaku usaha. Hal yang lebih penting untuk diperbaiki adalah kemudahan dalam birokrasi dan perizinan.“Ini jauh lebih penting bagi pelaku usaha dibandingkan request suku bunga kredit,” katanya.
Menurut Ryan, turunnya suku bunga acuan memang cepat atau lambat mendorong penurunan suku bunga simpanan. Namun kondisi likuiditas perbankan yang relatif ketat membuat suku bunga sulit turun dalam waktu cepat.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia (BCA) Tbk Jahja Setiaatmadja mengucapkan, pihaknya sudah menurunkan bunga secara selektif. “Penurunannya tetapi tidak merata. Bunga kita sesuaikan dengan risiko kredit per nasabah. Tidak lihat industrinya,” katanya.
Pacu manufaktur
Industri perbankan berkomitmen mendukung akselerasi industri manufaktur. Komitmen itu juga tercermin dari pertumbuhan penyaluran kredit ke industri manufaktur.
Wakil Direktur Utama BNI Herry Sidartha mengatakan, penyaluran kredit ke industri manufaktur masih sangat potensial. BNI akan mengoptimalkan kesempatan di sektor tersebut.
Penyaluran kredit ke industri manufaktur masih sangat potensial
BNI memproyeksikan kredit manufaktur akan tumbuh dua digit. Hal itu diyakini akan tercapai mengingat pemerintah juga berkomitmen memberikan sejumlah insentif.
“Strategi kami adalah ekspansi yang kami fokuskan pada debitur yang merupakan pemain utama pada region-nya masing-masing serta memaksimalkan supply chain financing untuk memberikan layanan perbankan yang komprehensif seperti payroll dan cash management,” sebut Herry.
Penyaluran kredit BNI pada sektor manufaktur Juni 2019 sebesar Rp 101,5 triliun atau tumbuh 20,5 persen secara tahunan. Adapun spesifik di industri otomotif, tekstil dan produk tekstil, serta alas kaki tumbuh sekitar 10,7 persen secara tahunan. Laju itu berada di atas industri perbankan yang tumbuh 6,9 persen secara tahunan.
Presiden Direktur PT OCBC NISP Tbk Parwati Surjaudaja mengatakan, penyaluran kredit ke industri manufaktur merupakan salah satu sektor prioritas. Sekitar 29 persen portofolio disalurkan pada sektor tersebut.
“Industri tekstil merupakan salah satu industri yang cukup banyak berkontribusi dalam sektor manufaktur. Jadi kami nantikan policy yang kondusif dari pemerintah,” pungkasnya.