Pemerintah mengusulkan iuran peserta bukan penerima upah kelas 3 naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000, kelas 2 naik dari Rp 51.000 jadi Rp 110.000, dan kelas 1 naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat berlaku mulai tahun 2020. Alokasi anggaran untuk penerima bantuan iuran dalam Rancangan APBN 2020 naik nyaris dua kali lipat.
Pemerintah dan Badan Anggaran DPR, Selasa (10/9/2019) malam, menyepakati kenaikan anggaran penerima bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (KIS) dari Rp 26,7 triliun tahun 2019 menjadi Rp 48,8 triliun tahun 2020. Peserta penerima bantuan iuran tahun 2020 sama dengan 2019, yaitu 96,8 juta jiwa.
”Kenaikan anggaran penerima bantuan iuran oleh pemerintah untuk menjamin kesinambungan layanan yang berkualitas,” ujar Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani.
Iuran penerima bantuan, baik yang dibayarkan melalui APBN maupun APBD, naik dari 23.000 menjadi 42.000 per orang. Kenaikan iuran untuk penerima bantuan ini berlaku per Agustus 2019. Adapun kenaikan iuran untuk peserta nonpenerima bantuan iuran masih tahap sosialisasi dan perbaikan data kepesertaan.
”Tarif kenaikan iuran segmen nonpenerima bantuan iuran disesuaikan dengan mempertimbangkan tingkat kolektabilitas,” kata Askolani.
Pemerintah mengusulkan iuran peserta bukan penerima upah kelas 3 naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000, kelas 2 naik dari Rp 51.000 jadi Rp 110.000, dan kelas 1 naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000.
Adapun iuran peserta penerima upah badan usaha dari semula 5 persen dari penerimaan upah dengan batas atas upah Rp 8 juta menjadi Rp 12 juta. Untuk peserta penerima upah pemerintah, iuran yang sebelumnya 5 persen dari gaji pokok dan tunjangan keluarga menjadi 5 persen dari seluruh upah yang diterima (Kompas, 28/8/2019).
Askolani mengatakan, kenaikan iuran akan diikuti perbaikan dan redesain sistem JKN-KIS. Dalam Rancangan APBN 2020, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mengalokasikan anggaran program penguatan pelaksanaan jaminan kesehatan sebesar Rp 26,77 triliun, naik 3,1 persen dibandingkan 2019.
”Perbaikan iuran peserta, sistem, dan manajemen JKN-KIS, serta penguatan peran pemerintah daerah menjadi satu paket untuk betul-betul menjawab tantangan yang dihadapi saat ini,” kata Askolani.
Anggaran penguatan pelaksanaan jaminan kesehatan dialokasikan untuk perbaikan sistem kepesertaan, sistem pelayanan, strategic purchasing, sinergitas antarpenyelenggara jaminan sosial, implementasi urun biaya dan selisih bayar, serta pengendalian biaya operasional.
Peraturan Presiden
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, pemerintah akan melakukan sosialisasi kenaikan iuran dalam empat bulan ke depan. Keputusan tarif iuran JKN-KIS yang baru dan waktu pelaksanaannya menunggu peraturan presiden. Besaran kenaikan iuran dinilai sudah mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk membayar.
”Kenaikan iuran peserta diharapkan dapat mengatasi persoalan cash flow BPJS Kesehatan sehingga dapat melakukan pembayaran klaim fasilitas kesehatan tepat waktu,” kata Mardiasmo.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan, selama ini defisit BPJS Kesehatan ditengarai karena adanya gap antara iuran dan biaya per kapita. Pada 2019, rata-rata iuran peserta sebesar Rp 36.700 per orang, sementara rata-rata biaya kesehatan Rp 50.700 per orang.
Untuk itu, dibutuhkan upaya fundamental guna mencegah defisit semakin melebar, salah satunya menaikkan iuran peserta program JKN-KIS. Kenaikan premi per orang per bulan itu menjadi opsi paling memungkinkan untuk mempersempit gap antara iuran dan biaya.
”Defisit BPJS Kesehatan tahun 2019-2024 akan melebar jika tidak melakukan upaya yang sifatnya bauran kebijakan, termasuk dengan menaikkan iuran peserta,” kata Fahmi dalam Rapat Kerja Bersama Komisi IX dan XI DPR di Jakarta, Senin (2/9/2019).
Mengutip data BPJS Kesehatan, defisit BPJS Kesehatan tersebut berpotensi melebar selama periode 2019-2024. Rinciannya, defisit tahun 2019 sebesar Rp 32,8 triliun menjadi Rp 39,5 triliun (2020), Rp 50,1 triliun (2021), Rp 58,6 triliun (2022), Rp 67,3 triliun (2023), dan Rp 77,9 triliun (2024).