Ketua KPK Berharap Presiden Dengarkan Masukan Masyarakat
Ketua KPK Agus Rahardjo berharap, Presiden Joko Widodo bersedia mendengarkan masukan dari berbagai elemen masyarakat yang menolak rencana revisi Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Oleh
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo berharap, Presiden Joko Widodo bersedia mendengarkan masukan dari berbagai elemen masyarakat yang menolak rencana revisi Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Oleh karena itu, Presiden diharapkan tidak mengirimkan surat persetujuan pembahasan Rancangan Undang Undang KPK pada DPR.
“Saya sangat mengharapkan Presiden mendengarkan masukan dari para ahli, baik yang di perguruan tinggi maupun di luar perguruan tinggi,” kata Agus saat ditemui di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (11/9/2019).
Agus menyatakan, KPK sudah memutuskan untuk menolak rencana revisi UU KPK yang diusulkan oleh DPR beberapa waktu lalu. Salah satu pertimbangannya, revisi UU KPK itu dinilai akan memperlemah KPK secara institusional. Revisi UU KPK juga dinilai bakal memperlemah upaya pemberantasan korupsi di Indonesia karena selama ini KPK merupakan lembaga yang berada di garda terdepan pemberantasan korupsi.
Saya sangat mengharapkan Presiden mendengarkan masukan dari para ahli, baik yang di perguruan tinggi maupun di luar perguruan tinggi
Selain itu, waktu pembahasan revisi UU KPK sangat sempit apabila dilakukan sekarang. Hal ini karena masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019 tinggal beberapa hari. “Jadi, dari sisi waktu yang ada, tidak mungkin kita akan mendapatkan Undang Undang yang baik,” ujar Agus.
Oleh karena itu, Agus memaparkan, KPK berharap Presiden Joko Widodo tidak mengirimkan surat presiden yang berisi persetujuan pembahasan RUU KPK kepada DPR. Apalagi, berbagai elemen masyarakat telah menyatakan sikap menolak rencana revisi UU KPK yang diusulkan oleh DPR.
Agus juga mengingatkan, dalam kampanyenya sebagai calon presiden, Joko Widodo selalu menyampaikan janji akan memperkuat KPK. “Bagaimana pun Bapak Presiden sebenarnya sudah menjanjikan dalam kampanyenya akan memperkuat KPK. Janji itu yang akan kita minta. Oleh karena itu, KPK masih sangat berharap Bapak Presiden tidak mengirimkan surpres (surat presiden) kepada DPR,” ungkapnya.
Agus menuturkan, apabila DPR dan pemerintah serius ingin memperbaiki KPK melalui merevisi UU KPK, kedua institusi tersebut seharusnya meminta masukan dari KPK. Dia menambahkan, KPK siap memberikan masukan terkait revisi UU KPK dengan tujuan untuk memperkuat KPK dan mengefektifkan pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Sebetulnya kalau nanti DPR yang periode berikutnya akan membicarakan revisi UU KPK, kami akan memberikan masukan-masukan apa saja yang perlu diubah,” ujar Agus.
Agus memaparkan, pemerintah dan DPR seharusnya memiliki prioritas dalam melakukan revisi Undang Undang. Dia menyebut, sebelum revisi UU KPK dilakukan, ada beberapa Undang Undang yang revisinya harus dibahas dan diselesaikan lebih dulu, misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan UU Pemberantasan Korupsi.
“Begitu tiga Undang Undang itu jadi, baru menyentuh UU KPK. Jadi berpikirnya mestinya sistematis seperti itu,” tutur Agus.
Kirim surat
Sementara itu, jejaring Pusat Kajian Hukum dan Antikorupsi Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia akan mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo yang berisi penolakan terhadap revisi UU KPK. Surat tersebut dikirimkan atas nama pusat kajian hukum dan antikorupsi dari 30 perguruan tinggi, misalnya UGM, Universitas Andalas, Universitas Jember, Universitas Diponegoro, dan sebagainya.
“Kami atas nama Pusat Kajian Hukum dan Antikorupsi Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia menagih komitmen dan janji Presiden untuk tidak membiarkan upaya-upaya pelemahan terhadap KPK dengan menolak pembahasan RUU KPK yang diusulkan oleh DPR,” kata Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, Oce Madril saat membacakan isi surat itu.
Oce menyatakan, pengusulan revisi UU KPK diduga melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebab, RUU KPK tidak masuk dalam dokumen program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2019. Padahal, UU No 12 Tahun 2011 mengamanatkan bahwa rencana penyusunan RUU harus masuk dalam prolegnas.
Pasal 23 UU No 12 Tahun 2011 memang menyatakan, dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar prolegnas. Namun, pengajuan RUU di luar prolegnas itu mesti memenuhi sejumlah syarat, misalnya RUU itu digunakan mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, atau keadaan tertentu yang memiliki urgensi nasional.
Sementara itu, RUU KPK dinilai tidak memenuhi syarat tersebut sehingga seharusnya tidak bisa diajukan tanpa masuk dalam prolegnas lebih dulu. “Kalau kita lihat dari sisi proses dan prosedur, RUU ini memang disembunyikan dari publik dan kemudian disusun secara sembunyi-sembunyi,” ujar Oce.