Persoalan Papua menjadi batu ujian bagi keindonesiaan kita. Ucapan kebencian bernada rasisme terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur beberapa waktu lalu semestinya juga melukai perasaan seluruh warga Indonesia.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan Papua menjadi batu ujian bagi keindonesiaan kita. Ucapan kebencian bernada rasisme terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur beberapa waktu lalu semestinya juga melukai perasaan seluruh warga Indonesia, tidak hanya orang Papua dan Papua Barat.
Hal itu ditegaskan cendekiawan Papua, Hidayat Alhamid, Selasa (9/10/2019) malam, di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Jakarta. Diskusi itu juga dihadiri Direktur Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Perdesaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Velix Wanggai dan Gubernur Lemhanas Letnan Jenderal TNI Agus Widjojo.
Dalam diskusi yang digagas oleh Think and Act for National Defense (Tandef) itu, Hidayat mengajak forum dan seluruh bangsa merenungkan kembali makna nasionalisme pasca-gelombang aksi protes di Papua dan Papua Barat.
Dia menganalogikan isu Papua sebagai orang yang kakinya sedang terinjak. Kalau kaki diinjak, mulut akan bereaksi, dan tangan akan mendorong. Lalu, orang yang menginjak itu mengatakan, ”Saya hanya menginjak kakimu.” Kaki, mulut, juga organ lainnya, merupakan satu tubuh. Begitu juga seharusnya kesatuan dari Sabang sampai Merauke.
”Kalau ada yang menyakiti kaki, harusnya mulut bicara, dong. Mana mulut mana lengan mana leher saat ada persoalan kebangsaan kita. Kita harus melakukan hal yang sama untuk mengatakan bahwa betul Papua yang ’berbeda’ ini tak perlu terlalu dianakemaskan, tetapi upaya pembelahan harus dihentikan. Rasisme itu mirip dengan terorisme, separatisme. Bagaimana negara melihat ini?” tuturnya.
Kita harus melakukan hal yang sama untuk mengatakan bahwa betul Papua yang ’berbeda’ ini tak perlu terlalu dianakemaskan, tetapi upaya pembelahan harus dihentikan.
Dia melanjutkan, jika kita punya dua anak, lantas si kakak berkata kasar kepada adiknya, mestinya tidak hanya sang adik yang disuruh bersabar. Si kakak juga mesti ditegur agar tidak lagi mengatakan kata kasar dan berbahaya itu.
”Kalau kita betul satu kesatuan, harusnya kejadian itu dianggap sebagai kejadian Indonesia. Orang Kendari, Banjarmasin, Makassar, Ponorogo, Indonesia secara keseluruhan mestinya tersinggung karena kita satu kesatuan,” kata Hidayat.
Hidayat tidak menampik bahwa ada kepentingan luar negeri di balik meluasnya protes ujaran kebencian bernada rasialisme di Papua dan Papua Barat. Akan tetapi, menempatkan persoalan itu semata-mata propaganda dari luar akan membuat Indonesia terjebak pada bias.
Bias itu antara lain dengan menempatkan nasionalisme melulu soal paradigma tradisional tentang keamanan negara. Padahal, persoalan yang paling mendasar adalah menyangkut keamanan manusia secara berkelanjutan. Ini berkaitan dengan pembebasan manusia dari ketakutan, rasa malu, dan kerentanan.
”Oleh sebab itu, pemerintah perlu membangun kepercayaan terhadap warganya, tak hanya bagi orang Papua, tetapi juga Ambon, Padang, Aceh, dan lain sebagainya. Rasa saling percaya inilah yang menguatkan kita sebagai bangsa,” ujarnya.
Agus Widjojo menambahkan, dibutuhkan strategi politik untuk memenangkan hati dan pikiran rakyat Papua. Artinya, pemerintah harus berada dalam sudut pandang yang sama terkait pembangunan di Papua. Tujuan pembangunan itu haruslah untuk menyejahterakan rakyat.
Agus merujuk ke penyelesaian kasus Aceh. Untuk pertama kalinya, pemerintah mengatasi gangguan keamanan dengan negosiasi. Hasil kesepakatan itu, salah satunya, membolehkan Aceh membentuk partai lokal.
Perdebatan tentang partai lokal di Aceh memang sempat memanas waktu itu karena tidak ada dalam konstitusi. ”Tetapi ini menjadi bagian dari strategi politik. Politik itu adalah seni untuk mewujudkan apa yang mungkin,” ujarnya.
Selain itu, Agus juga mengingatkan, Indonesia sedang berada pada masa transisi. Oleh sebab itu, perubahan tidak boleh dipahami secara sepotong-sepotong. Setiap elemen bangsa harus punya keluwesan untuk menerima perubahan.
”Jangan sampai dunia berubah, tetapi cara pandang kita terhadapnya masih sama. Bisa-bisa nanti ketinggalan kereta,” katanya.
Indonesia sedang berada pada masa transisi. Oleh sebab itu, perubahan tidak boleh dipahami secara sepotong-sepotong.
Velix menambahkan, pemerintah sudah menggagas program untuk memenangkan hati dan pikiran rakyat Papua. Untuk menghargai lokalitas Papua, misalnya, pemerintah mengadopsi tujuh wilayah adat Papua ke Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Tujuh wilayah adat itu adalah Domberay, Bomberay, Mee Pago, Saereri, Mamta, La Pago, dan Anim Ha. ”Ini bertujuan untuk mengenali konteks sosiologi dan kultur di Papua,” ujarnya.