Pasca-pemadaman internet di Papua dan Papua Barat selama 22 hari, pemerintah mengklaim penyebaran informasi hoaks, kabar bohong, ujaran kebencian, hasutan, dan provokasi terkait isu Papua terus turun.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
Pembatasan internet di Papua meski dinyatakan berhasil menurunkan penyebaran hoaks terkait isu Papua, efektivitasnya perlu dikaji.
JAKARTA, KOMPAS — Pasca-pemadaman internet di Papua dan Papua Barat selama 22 hari, pemerintah mengklaim bahwa penyebaran informasi hoaks, kabar bohong, ujaran kebencian, hasutan, dan provokasi terkait isu Papua terus turun sejak 31 Agustus 2019. Meski demikian, keputusan pemadaman internet di Indonesia dianggap tidak proporsional, mengabaikan hak digital, diduga memperdaya hukum, dan menanggalkan prinsip good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik.
Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) serta Pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dan tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM mengatur secara jelas perlindungan terhadap hak warga negara dalam mengakses informasi. Sekalipun hak tersebut merupakan hak yang dapat dibatasi (derogable rights), tetapi pembatasannya pun harus disertai dengan tugas dan tanggung jawab khusus (Ayat 2).
Hak digital yang merupakan implementasi hak asasi di wilayah digital disebutkan secara khusus dalam Komentar Umum PBB tahun 2011 yang secara spesifik mengatakan upaya pembatasan akses internet tidak dapat dibenarkan dan termasuk pelanggaran hak asasi manusia.
”Frank La Rue, sebagai Pelapor Khusus, menganggap memotong pengguna dari akses internet, terlepas dari pembenaran yang diberikan, tidak proporsional dan dengan demikian merupakan pelanggaran terhadap Pasal 19 Ayat 3 Kovenan Hak Sipil dan Politik,” kata Damar Juniarto, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Selasa (10/9/2019), di Jakarta.
Pasal 40 UU No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebenarnya hanya memberikan kewenangan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika sebatas pada penanggulangan muatan-muatan yang melanggar hukum, bukan pada memotong akses internet. Dengan demikian, tidak adanya prasyarat berdasarkan hukum dan asas keperluan untuk melakukan pemadaman internet.
Transparansi
Melihat itu semua, menurut Damar, mesti segera dilakukan evaluasi independen atas klaim dan narasi yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia sebagai bukti keberhasilan tindakan pemadaman internet. ”Transparansi atas evaluasi ini akan menunjukkan kepada banyak pihak apa saja yang luput kita anggap sebagai risiko yang patut kita tanggung demi rasa aman yang diharapkan,” katanya.
Dikhawatirkan, ke depan aksi pemadaman internet seperti ini akhirnya dianggap sebagai sebuah cara wajar untuk menangani situasi konflik sosial. Apabila ini yang kelak terjadi di Indonesia, mimpi menjadi pemain besar di Revolusi Industri 4.0 dan menjadi negara demokratik semakin jauh dari genggaman.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu, dalam siaran pers, Senin (9/9/2019), mengatakan, seiring membaiknya situasi dan kondisi keamanan di sebagian besar wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat, pemerintah secara bertahap terus membuka kembali layanan data internet di kedua provinsi tersebut sejak Rabu (4/9/2019) hingga Senin (9/9/2019).
Khusus empat kabupaten/kota di Provisi Papua, yakni Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Jayawijaya, serta dua kota di Papua Barat, yakni Kota Manokwari dan Kota Sorong, kondisinya dinilai belum kondusif sehingga pemerintah masih memblokir akses layanan data internet.
Aksi pemadaman internet juga sering dilakukan India, sebuah negara yang paling banyak melakukan pemadaman internet di dunia terhadap negara-negara bagian mereka, khususnya Kashmir. Menurut laporan Jan Rydzak dalam tulisannya, Of Blackouts and Bandhs: The Strategy and Structure of Disconnected Protest in India, 7 Februari 2019, pemadaman informasi via internet justru memaksa para demonstran di India untuk mengganti taktik tanpa kekerasan menjadi taktik kekerasan.
Pemadaman informasi via internet justru memaksa para demonstran di India untuk mengganti taktik tanpa kekerasan menjadi taktik kekerasan.
Analis media sosial Ismail Fahmi dalam analisisnya mengungkapkan, percakapan mengenai topik-topik yang diributkan di Papua justru tidak terpengaruh oleh tindakan pemadaman internet. Tindakan ini justru meningkatkan minat masyarakat pada virtual private network (VPN) sebagai cara untuk memintas pembatasan akses informasi yang dilakukan oleh pemerintah.
”Dengan semakin banyaknya pengunduh VPN, maka upaya untuk membatasi akses informasi sebetulnya tidak efektif sama sekali,” kata Damar.