Pembangunan Infrastruktur Mesti Perkuat Industri Konstruksi
Pembangunan infrastruktur yang masih jadi fokus pemerintah semestinya berkontribusi besar pada ekonomi. Namun, ada pekerjaan rumah terkait sumber daya manusia dan sumber pembiayaan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan infrastruktur yang masih menjadi fokus pemerintah semestinya berkontribusi besar pada ekonomi. Namun, ada pekerjaan rumah terkait sumber daya manusia dan sumber pembiayaan.
Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Syarif Burhanuddin mengatakan, anggaran infrastruktur tahun 2020 mencapai Rp 419,2 triliun. Selain itu, pemerintah berencana memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur yang perlu dana sampai Rp 466 triliun.
”Persoalan rantai pasok dimulai dari sumber daya manusia yang ternyata masih kurang. Demikian juga materialnya. Ada yang suplainya lebih banyak dari permintaan, ada pula sebaliknya. Ini yang menjadi pekerjaan rumah,” kata Syarif dalam diskusi Konstruksi Indonesia 2019, di Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Saat ini jumlah tenaga kerja konstruksi di Indonesia mencapai 8,3 juta orang. Namun, dari jumlah itu, yang telah tersertifikasi baru sekitar 8 persen, baik untuk tenaga terampil maupun tenaga ahli.
Menurut Syarif, dunia konstruksi akan maksimal jika didukung rantai pasok yang baik. Rantai pasok bukan hanya soal material dan peralatan, melainkan juga mencakup distribusi dan transportasi. Terlebih, di dunia konstruksi juga terjadi perkembangan teknologi yang membawa efisiensi dan efektivitas.
Meski demikian, Wakil Ketua Komite Tetap Pengembangan SDM Infrastruktur Kadin Indonesia Dandung Sri Harninto mengatakan, pembangunan infrastruktur selama ini belum dinikmati kontraktor swasta. Bahkan, antara 2014 sampai 2018, jumlah perusahaan konstruksi atau kontraktor turun 26 persen dari 141.665 perusahaan menjadi 104.665 perusahaan.
Untuk penyerapan tenaga kerja, sektor konstruksi sejak 2015 sampai 2018 hanya berkontribusi sebesar 10,29 persen. Sementara penyumbang terbesar penciptaan lapangan kerja datang dari sektor jasa kemasyarakatan dan lainnya sebesar 37,69 persen.
Di sisi pembiayaan, kata Dandung, upaya pemerintah menarik investasi swasta setidaknya 36 persen antara 2015-2019 tidak terwujud. Kontribusi pembiayaan infrastruktur dari sektor swasta diperkirakan hanya di angka belasan persen. Sebab, kontraktor swasta yang kebanyakan berkualifikasi menengah dan kecil tidak mampu bersaing melawan kotraktor yang merupakan badan usaha milik negara (BUMN).
”Maka, penting keberpihakan dalam arti, baik swasta maupun BUMN, sama-sama dibesarkan. Lalu perlu ada wasit yang bisa memberikan sanksi,” ujar Dandung.
Pelaksana Tugas Kasubdit Rancang Bangun II Bappenas Novi Andriani mengatakan, investasi infrastruktur untuk lima tahun ke depan memerlukan Rp 6.445 triliun. Dari jumlah itu, pemerintah hanya mampu menyediakan 37 persen atau Rp 2.385 triliun. Sementara swasta diharapkan dapat berkontribusi sampai 42 persen atau Rp 2.707 triliun dan BUMN sekitar 21 persen atau Rp 1.353 triliun.
Menurut Novi, yang menjadi tantangan bagi pemerintah adalah menyiapkan proyek infrastruktur agar sesuai dengan keinginan swasta. Selain itu pemerintah mesti memperbaiki proyek berskema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) agar swasta juga tertarik berinvestasi.
Terkait dengan pengembangan pelaku sektor konstruksi, lanjut Syarif, pemerintah akan mengurangi aturan yang menghambat investasi. Pihaknya telah meminta asosiasi yang terkait dengan kontruksi untuk memberi masukan tentang peraturan yang selama ini dianggap menghambat.
Meski demikian, pemerintah juga berharap agar kontraktor mau beralih dari kontraktor umum menjadi kontraktor spesialis. Sebab, jumlah kontraktor spesialis hanya sekitar 5.000 perusahaan, jauh lebih kecil dibandingkan dengan kontraktor umum yang jumlahnya 123.000 unit. Dengan demikian, diharapkan kontraktor dapat lebih berkompetisi untuk mendapatkan proyek infrastruktur.