Saat ini, baru tujuh provinsi yang mencapai target tersebut, yakni Gorontalo, Aceh, DKI Jakarta, Papua Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Utara, dan Bali.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat masih belum optimal. Semua pihak, termasuk pemerintah daerah perlu lebih serius menjalankan komitmennya untuk memastikan keberlanjutan program ini. Hal ini termasuk mendukung implementasi penyesuaian besaran iuran yang akan segera diberlakukan.
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fachmi Idris di Jakarta, Rabu (11/9/2019), mengungkapkan, pemerintah daerah memiliki peranan penting dalam mengawal keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Salah satu dukungan yang bisa dilakukan adalah memastikan kebijakan pemerintah pusat soal penyesuaian iuran peserta dapat terimplementasi dengan baik.
“Penyesuaian besaran iuran peserta adalah keniscayaan. Pemerintah berencana menyesuikan iuran di seluruh segmen peserta, termasuk segmen PBI (Peserta Bantuan Iuran) yang dibayarkan melalui APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Untuk itu, pemerintah daerah diharapkan bisa mengalokasikan anggaran sesuai besaran tersebut,” ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja gabungan bersama Komisi IX dan Komisi XI DPR, mengatakan, kenaikan iuran akan diberlakukan sejak Agustus 2019, yakni mulai dari segmen PBI APBN dan PBI APBD. Segmen lain baru berlaku pada Januari 2020. Dalam jangka waktu Agustus-Desember 2019, selisih iuran pada segmen PBI APBD akan ditanggung oleh pemerintah pusat dan baru efektif menjadi tanggung jawab pemerintah daerah pada Januari 2020. Adapun penyesuaian iuran peserta segmen PBI naik dari Rp 23.000 menjadi Rp 42.000 (Kompas, 28/8/2019).
Menanggapi usulan kenaikan iuran tersebut, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie menyatakan, pihaknya akan mendukung penuh keputusan tersebut. Meski dinilai cukup besar, pemerintah daerah memastikan anggaran untuk peserta PBI APBD tersedia. Di Gorontalo, sekitar 300.000 jiwa yang terdaftar sebagai peserta PBI APBD. Dari jumlah itu, 60 persen merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi atau sekitar Rp 50 miliar. Jika iuran dinaikkan menjadi Rp 42.000, pemerintah provinsi harus menganggarkan sekitar Rp 90 miliar.
“Anggaran Rp 50 miliar tidak sedikit, apalagi harus naik menjadi Rp 90 miliar. Konsekuensinya kami harus batalkan kegiatan lain. Namun, saya dukung kenaikan ini karena urusan kesehatan tidak bisa ditawar. Kami juga harus lebih selektif dalam memberikan bantuan pada peserta yang ditanggung,” ujarnya.
Ia menambahkan, Pemerintah Provinsi Gorontalo akan segera mengeluarkan aturan terkait jaminan kesehatan nasional di wilayahnya. Nantinya, masyarakat Gorontalo yang bisa mendapatkan jaminan program JKN-KIS harus memenuhi beberapa syarat, antara lain, tidak merokok, tidak mengonsumsi minuman keras, menjalankan program keluarga berencana (KB), dan bersedia menjadi pendonor.
“Saya akan buat pergub terkait persyaratan itu. Untuk seleksi peserta JKN-KIS yang dijamin pemerintah daerah akan melibatkan tokoh agama, dokter, serta para ahli. Harapannya masyarakat mulai mengubah perilakunya menjadi lebih sehat,” ucapnya.
Jaminan kesehatan semesta
Fachmi menuturkan, dukungan lain dari pemerintah daerah yang masih perlu didorong yakni pencapaian jaminan kesehatan semesta (universal health coverage/UHC) sebesar 95 persen. Saat ini, baru tujuh provinsi yang mencapai target tersebut, yakni Gorontalo, Aceh, DKI Jakarta, Papua Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Utara, dan Bali.
Selain itu, optimalisasi peran pemda juga dilakukan melalui pemanfaatan pajak rokok. Peraturan Presiden No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan menyatakan, 75 persen dari 50 persen kontribusi penerimaan pajak rokok daerah bisa dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan masyarakat, termasuk pembiayaan program JKN-KIS.