Penataan PKL di Trotoar Jangan Abaikan Hak Pejalan Kaki
Saat ini pemerintah mengkaji pemanfaatan lain dari trotoar yang memiliki lebar antara 5 meter dan 8 meter. Kajian menyangkut jenis dagangan PKL, desain tempat berdagang, serta pembatasan waktu berdagang.
JAKARTA, KOMPAS — Rencana penataan pedagang kaki lima di trotoar jalan harus dikaji secara matang agar tidak mengganggu dan mengabaikan hak pejalan kaki. Permasalahan di lapangan saat ini adalah sejumlah PKL masih mengokupasi trotoar dan ada juga yang beralih dari lokasi binaan ke trotoar yang lebih ramai pengunjung.
Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Endra S Atmawidjaja di Jakarta, Rabu (11/9/2019), mengatakan, syarat lebar trotoar yang diperbolehkan ada pedagang kaki lima (PKL) harus di atas 5 meter. Dari lebar 5 meter, area yang bisa digunakan PKL maksimal 3 meter.
”Trotoar di bawah 5 meter berarti tidak boleh untuk PKL,” ujar Endra.
Perbandingan antara lebar jalur pejalan kaki dan lebar area berdagang adalah 1:1,5. Area berdagang tidak boleh mengganggu fungsi utama trotoar untuk pejalan kaki. Hal itu diatur dalam Pasal 13 Ayat 2 Peraturan Menteri PUPR Nomor 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki.
Endra menambahkan, lokasi trotoar yang menjadi area berdagang tidak boleh berada di sisi jalan arteri primer, sekunder, kolektor primer, dan sisi ruas jalan dengan kecepatan kendaraan tinggi.
Menyalahi aturan
Namun, aturan itu sayangnya sering kali tidak sesuai dengan keadaan di lapangan. Di beberapa lokasi jualan di tepi jalan yang disediakan Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Perdagangan Provinsi DKI Jakarta kepada para PKL, seperti Pusat Jajanan Serba Ada (Pujasera) Melawai, Jakarta Selatan, lebar trotoar ternyata tidak mencapai 5 meter.
Sebagian trotoar Jalan Panglima Polim III itu digunakan sebagai tempat PKL mempersiapkan dagangan kuliner. Kursi dan meja pelanggan ditempatkan di tepi jalan. Untungnya, kawasan itu tidak terlalu ramai dilalui kendaraan.
Ivan (38), pelanggan Pujasera Melawai, mengatakan, meskipun keberadaan PKL menuai pro dan kontra, secara tak langsung mereka sudah menjadi bagian penting dari budaya sehari-hari Jakarta. Keberadaan PKL kadang dikeluhkan karena mengganggu pengguna jalan. Namun, di sisi lain, banyak pula yang gemar dengan tawaran makanan mereka yang enak dan murah.
”Sebagai konsumen, saya tentu senang dengan kuliner kaki lima yang harganya cukup murah. Namun, sebagai pejalan kaki, keberadaan mereka membuat kami kurang nyaman dan pemandangan tidak rapi,” ujar Ivan.
PKL juga terlihat ramai berjualan di sisi barat dan timur Stasiun Palmerah, Jakarta Pusat, sampai ke arah lampu lalu lintas Palmerah. Pedagang menggelar lapak di atas trotoar selebar 3 meter.
Lapak-lapak berada di belakang garis kuning. Akan tetapi, ada juga lapak yang melintasi garis kuning, bahkan sampai mengambil badan jalan.
Tak heran, pada pagi hari situasi trotoar di sekitar Stasiun Palmerah sampai penuh sesak. Pengguna trotoar saling berebut ruang untuk melintas dengan lapak dagangan dan kendaraan yang terparkir. Belum lagi sebagian pengguna harus berhenti menunggu angkutan umum ataupun jemputan.
Nasrullah (55), pedagang aksesori, menuturkan, lapak dagangan tidak boleh melebihi garis kuning dan harus bersih. Satuan polisi pamong praja akan menegur pedagang jika tidak mengikuti ketentuan itu.
”Tidak ada yang minta uang sewa (preman) karena dekat pos polisi. Kalau di dekat stasiun, ada yang minta,” ucapnya.
Keberadaan PKL yang mengokupasi trotoar juga terjadi di kawasan wisata Kota Tua, Tamansari, Jakarta Barat.
Di Kota Tua, trotoar yang lebarnya berkisar 2 meter-3 meter hampir setengahnya ditempati sepeda motor dan lapak dagangan PKL. Padahal, Kota Tua pada 2013 memiliki lokasi binaan bagi pedagang di Jalan Cengkeh, yang jaraknya sekitar 1 kilometer.
Ujang (54), pedagang di Jalan Teh, persis di seberang Kota Tua, mengatakan, lokasi binaan di Jalan Cengkeh ditinggalkan pedagang karena sepi pengunjung. Alhasil, pedagang di lokasi binaan lebih memilih berjualan di sekitar trotoar karena lebih menguntungkan.
”Penempatan di lokasi binaan seperti tidak adil karena banyak pedagang yang bandel berjualan di trotoar. Saya juga ikut berjualan di trotoar sekitar empat tahun terakhir supaya untung lebih banyak,” ujar pedagang es campur itu.
Dikaji
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho menegaskan, trotoar selebar 1,5 meter tidak diperbolehkan digunakan PKL. Sebab, okupansi itu pasti akan mengganggu hak pejalan kaki.
”Otomatis kalau kita bicara undang-undang, ya, kalau lebar trotoar 1,5 meter, ya, otomatis PKL tidak bisa (berdagang). Itu hanya untuk pejalan kaki,” kata Hari.
Namun, yang saat ini sedang dikaji pemerintah adalah pemanfaatan lain dari trotoar yang memiliki lebar antara 5 meter dan 8 meter. Kajian menyangkut sejumlah hal, seperti jenis dagangan PKL, desain tempat berdagang, serta pembatasan waktu berdagang.
Kebijakan itu pun tidak bisa diterapkan di lima wilayah administratif DKI Jakarta karena bergantung pada lebar trotoar dan karakteristik tempatnya.
”Yang penting nanti secara hukum jangan sampai bertentangan. Kami masih kaji wilayah mana yang memang bisa ditetapkan sebagai trotoar (untuk PKL). Tentu semua harus ada klausulnya agar tak sembarangan nanti,” kata Hari.