Wapres Jusuf Kalla menegaskan pemerintah menyetujui revisi terbatas UU KPK untuk memperkuat KPK. Namun, revisi ini dikhawatirkan merambah ke pasal-pasal lain.
JAKARTA, KOMPAS —Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan, pemerintah pada prinsipnya menyetujui revisi secara terbatas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Ini membuat tidak semua pasal dalam draf Rancangan Undang-Undang KPK inisiatif DPR akan disetujui pemerintah.
Namun, sejumlah pegiat gerakan masyarakat sipil khawatir revisi terbatas itu bisa menjadi bola liar. Ini karena tak ada cukup jaminan bahwa pembahasan tidak akan berkembang ke pasal-pasal lain ketika draf RUU KPK itu sudah dibahas pemerintah bersama DPR. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo diharapkan tak buru-buru memutuskan adanya revisi terbatas. Presiden punya waktu 60 hari untuk mengeluarkan surat presiden persetujuan pembahasan RUU KPK, terhitung sejak surat dari pimpinan DPR tentang RUU itu diterima Presiden.
Memperkuat
Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan, pemerintah menyetujui revisi terbatas UU KPK karena ingin ada perbaikan untuk memperkuat KPK. ”Secara prinsip perlu perbaikan-perbaikan,” ujar Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Dalam revisi terbatas ini, lanjut Kalla, pemerintah menyetujui adanya Dewan Pengawas serta pemberian kewenangan menghentikan penyidikan dan penuntutan bagi KPK. Pemerintah juga menyetujui pengaturan penyadapan dan memasukkan status pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara.
Pembentukan Dewan Pengawas, menurut Kalla, akan memperkuat KPK. Pasalnya, dewan itu akan memantau dan memastikan semua prosedur di KPK dilaksanakan dengan baik. Kewajiban KPK mendapatkan izin Dewan Pengawas sebelum melakukan penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan juga untuk memperbaiki struktur KPK.
Wapres memperkirakan surat presiden untuk memulai pembahasan revisi UU KPK segera dikirimkan. ”Sekali lagi, kami ingin KPK berfungsi dan dijaga, tetapi mesti ada batasannya,” katanya.
KPK, ujar Kalla, perlu diperkuat dan kinerjanya diapresiasi. Namun, jangan sampai kehadiran KPK menimbulkan ketakutan pada pejabat negara dan BUMN.
Dualisme kepemimpinan
Secara terpisah, pengajar Hukum Pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, berharap keran revisi UU KPK tidak perlu dibuka sama sekali. Ini karena tidak ada jaminan pembahasan tidak merambah ke pasal lain.
Meski revisi dilakukan terbatas, menurut Agustinus, pada dasarnya substansi revisi UU KPK itu sudah bermasalah. Ia menyoroti sejumlah pasal, salah satunya terkait Dewan Pengawas yang berpotensi memunculkan dualisme kepemimpinan di KPK. Kondisi itu dapat mengganggu kinerja KPK karena ditengarai akan lebih banyak kepentingan yang terlibat saat penanganan perkara.
Sementara itu, anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan tidak masalah jika revisi UU KPK hendak dilakukan terbatas. Namun, akan ada perdebatan dalam pembahasan karena fraksi-fraksi di DPR punya keinginan yang berbeda terkait substansi revisi.
”Akan tetapi, kami yakin, kalaupun ada perdebatan, bisa dicapai titik temu. Setidaknya fraksi-fraksi pendukung pemerintah pasti akan mendukung (keinginan pemerintah),” katanya.
Jika pasal-pasal yang direvisi menjadi lebih luas dari batasan yang diinginkan pemerintah, lanjut Arsul, pembahasan hanya akan mencakup poin-poin yang sudah disepakati sebelumnya dalam draf revisi UU KPK. Substansi draf itu mencakup enam poin utama perubahan. Pertama, kedudukan KPK sebagai cabang eksekutif atau pemerintahan, status pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara, izin penyadapan oleh Dewan Pengawas, peningkatan fungsi pencegahan KPK, pembentukan Dewan Pengawas KPK, serta kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi.
Anggota Badan Legislasi dari Fraksi PDI-P, Masinton Pasaribu, mengatakan, keinginan pemerintah merevisi secara terbatas akan menjadi bagian dalam pembahasan RUU KPK.
Tidak buru-buru
Pegiat gerakan masyarakat sipil berharap Presiden Jokowi tak memutuskan revisi terbatas terhadap UU KPK. ”Presiden punya waktu 60 hari untuk berpikir dan membicarakan secara internal di pemerintah tentang substansi RUU usulan DPR,” kata pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar.
Di sejumlah daerah, penolakan terhadap revisi UU KPK masih berlangsung. Sebanyak 146 peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga menandatangani penolakan revisi UU KPK. Beberapa profesor riset berpartisipasi, seperti Syamsuddin Haris, Siti Zuhro, Asvi Warman Adam, dan Dewi Fortuna Anwar.
Menurut Siti Zuhro, pengajuan revisi yang serba mendadak akan menghasilkan produk yang cacat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif kembali menegaskan, KPK menolak revisi UU KPK. UU KPK saat ini masih relevan dan menunjang kinerja KPK dalam memberantas korupsi.
(INA/CAS/DIA/SYA/AGE/IAN/MTK)