Sigit Danang Joyo: OTT Masif, Tandanya Pencegahan Korupsi Gagal
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Sigit Danang Joyo menilai, masifnya operasi tangkap tangan menandakan bahwa belum ada mekanisme pencegahan tindak pidana korupsi yang efektif. Ia mengusulkan, penguatan pencegahan dengan menempatkan sejumlah penanggungjawab di kementerian atau lembaga.
Dalam Uji Kepatutan dan Kelayakan Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) yang diselenggarakan Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (11/9/2019), Sigit mengatakan, maraknya operasi tangkap tangan (OTT) terhadap koruptor berpengaruh pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. “Penilaian IPK salah satunya dilihat dari persepsi terhadap korupsi. Jika OTT terus menerus diekspos, maka IPK kita akan semakin rendah,” kata Sigit.
Berdasarkan catatan Kompas, capaian IPK Indonesia memang belum beranjak signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2018, skor IPK mencapai 38, naik empat poin dibandingkan empat tahun sebelumnya pada 2014, yaitu 34.
Dengan begitu, kata Sigit, OTT yang kian hari kian sering dilakukan tak mencerminkan keberhasilan pemberantasan korupsi. Hal itu justru menandakan tidak adanya mekanisme pengawasan yang efektif.
Apalagi jika tangkap tangan terjadi di lembaga yang sebelumnya juga pernah jadi sasaran OTT KPK. “Kalau OTT sangat masif, boleh kita simpulkan bahwa pencegahan itu gagal,” ucapnya.
Menurut dia, saat ini KPK masih memprioritaskan pendekatan penindakan untuk memberantas korupsi. Hal itu tampak pada jumlah personel penindakan yang mencapai 439 orang, sedangkan bagian pencegahan korupsi hanya diisi 310 orang. Padahal, kedua pendekatan tersebut, penindakan dan pencegahan harus berjalan secara simultan dan imbang.
Selain itu, OTT juga tak pernah ditindaklanjuti dengan pengawasan dan pembinaan bagi lembaga terkait. Padahal, tindak lanjut pembinaan itu penting agar tindak pidana korupsi tak terulang.
Ia mengusulkan, KPK menempatkan dua penanggung jawab pada setiap kementerian/lembaga yang pernah jadi sasaran OTT lebih dari satu kali. Kedua orang itu bertanggung jawab untuk mengawal seluruh program strategis pada kementerian/lembaga agar tak melenceng dari peraturan perundang-undangan.
“Jika di kementerian/lembaga itu masih terjadi OTT, maka kedua orang itu boleh dipanggil, karena artinya mereka sudah gagal,” kata Sigit.
Menurut Sigit, saat ini KPK berpeluang besar untuk mengoptimalkan pencegahan korupsi. Sebab, lembaga tersebut masuk sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018.
Saat ini KPK berpeluang besar untuk mengoptimalkan pencegahan korupsi
Revisi UU KPK
Tanya jawab antara anggota Komisi III DPR dan Sigit berlangsung lancar. Hampir tidak ada anggota dewan yang menyela atau tak setuju dengan gagasan yang ia kemukakan. Bahkan, durasi uji kepatutan dan kelayakan terhadap dia berlangsung paling cepat, 90 menit dibandingkan kandidat sebelumnya, Lili Pintauli Siregar yang mencapai tiga jam dan Nawawi Pomolango yang mencapai dua jam.
Penegasan hanya dilakukan pada pertanyaan soal sikapnya terhadap rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. “Apa pandangan Saudara terhadap reaksi pimpinan KPK saat ini yang reaktif dan kekanak-kanakan terhadap rencana revisi UU KPK. Tolong jelaskan juga apakah Saudara setuju pada rencana itu, poin apa yang disetujui dan tidak, lalu apa alasannya,” kata anggota Komisi III DPR yang juga salah satu pengusul revisi UU KPK, yaitu Masinton Pasaribu dari Fraksi PDI-P.
Sigit menjawab, ia setuju dengan rencana amendemen tersebut asalkan isinya ditujukan pada penguatan pencegahan dan pemberantasan korupsi, serta memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu, poin revisi yang amat ia dukung adalah pemberian kewenangan penghentian penyidikan suatu perkara bagi KPK.
Menurut dia, ruang bagi penerbitan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) memang harus dibuka. Selama ini, KPK tidak memiliki kewenangan menghentikan perkara karena dengan mekanisme tersebut, diharapkan penyidik dapat berlaku lebih bijaksana dalam menetapkan tersangka.
Akan tetapi, kata dia, tidak ada penyidik yang sempurna. Mekanisme itu justru membuka penyalahgunaan wewenang, misalnya dengan menetapkan seseorang menjadi tersangka padahal bukti yang ada belum kuat dan sah.
“Ruang untuk SP3 harus dibuka, tetapi juga harus ketat dan sangat selektif. Misalnya, perkara hanya bisa dihentikan apabila tersangka meninggal dunia atau putusan praperadilan, tidak bisa menghentikan perkara hanya karena diskresi internal penyidik,” ujar Sigit.
Selain itu, ia pun sepakat dengan pembentukan Dewan Pengawas KPK. Merujuk pada praktik di berbagai negara, pembentukan institusi itu sudah biasa terjadi untuk mengawasi lembaga yang memiliki kewenangan luar biasa seperti KPK. Sebab, keberadaan lembaga superbody juga selalu diiringi oleh adanya sunset clauses atau aturan untuk mengadakan mekanisme evaluasi secara berkala.
Meski demikian, pemilihan anggota Dewan Pengawas tak boleh asal. Pengawas tak boleh berasal dari pihak yang rawan konflik kepentingan dan harus ditunjuk oleh pimpinan tertinggi negara. “Untuk lembaga seperti KPK, pengawasnya harus ditunjuk presiden, agar ia selalu independen dalam bekerja,” kata Sigit.