Biarlah zaman yang menguji, apakah warisan Habibie tidak hanya berlanjut, tetapi juga lebih dari itu, membuahkan hasil lebih baik bagi negara dan bangsa Indonesia.
Oleh
NINOK LEKSONO
·3 menit baca
Kalau saja Bacharuddin Jusuf Habibie adalah seorang politikus atau seorang ekonom, ia juga akan berpikir bahwa Indonesia di bawah kepemimpinannya yang hanya 17 bulan setelah berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto tidak siap untuk demokratisasi.
Tetapi, karena Habibie adalah ahli aeronotika (penerbangan), ia berpikir jitu, yakni dengan menganalogikan Indonesia sebagai pesawat yang tengah mengalami stall (kehilangan daya angkat) dan meluncur tajam ke bawah.
Habibie yang lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, pun berpikir lugas bahwa tidak ada alternatif lain bagi pesawat (Indonesia) kecuali menyelamatkannya dengan menghentikan stall dan mengangkatnya naik kembali.
Itulah satu benang merah dari ”Orasi 82 Tahun BJ Habibie” yang diselenggarakan The Habibie Center, didukung Dompet Dhuafa, di Gedung The Habibie Center, pusat kajian yang didirikan presiden ke-3 RI itu, Minggu (24/6/2018) pagi.
Hadir sebagai pembicara adalah wartawan senior Aristides Katoppo; Asisten Bidang Ekuin di era pemerintahan Habibie, Umar Juoro; dan pengamat politik Salim Said.
Disyukuri bahwa kondisi Indonesia tidak tambah buruk seperti Suriah dan Libya. Padahal, langkah Habibie tergolong fundamental, seperti memberikan kemerdekaan pers serta menyelenggarakan pemilu jujur dan adil atas tuntutan rakyat.
Langkah Habibie tergolong fundamental, seperti memberikan kemerdekaan pers serta menyelenggarakan pemilu jujur dan adil atas tuntutan rakyat.
Kondisi ekonomi pun dibenahi. Inflasi 80 persen diturunkan drastis menjadi 2 persen, sementara kurs rupiah terhadap dollar AS, yang masa krisis mencapai Rp 16.000 per dollar AS, diturunkan jadi Rp 6.500 per dollar AS, hal yang tak pernah lagi dicapai sesudah itu. Pertumbuhan yang minus 13 persen pun membaik jadi 1 persen.
Tidak ada persiapan
Padahal, menurut Umar Juoro, tidak ada persiapan. Seperti disampaikan Salim Said, sebenarnya Habibie tidak disiapkan menjadi presiden. Presiden Soeharto pun lebih menginginkan putri tertuanya untuk melanjutkan kekuasaannya.
Satu hal yang dilihat oleh Umar Juoro adalah meski tanpa persiapan, Habibie melihat demokratisasi bukan eksperimen yang memberi ruang pada kegagalan. Tema orasi ”Demokratisasi Tak Boleh Henti” menguatkan apa yang menjadi tekad dan keyakinan Habibie.
Narasi rinci tentang ini bisa dilihat pada, misalnya, buku The True Life of Habibie-Cerita di Balik Kesuksesan (A Makmur Makka, 2008).
Pengamat politik Dewi Fortuna Anwar yang mendapat kesempatan memberikan catatan mengatakan, Habibie menyadari bahwa ibarat mobil, sistem negara tidak bisa hanya dipacu dari sisi ekonomi dengan kecepatan 100 kilometer per jam, sementara dari sisi politik ditahan pada kecepatan 40 km per jam. Sebagai sistem dengan banyak mesin, semua harus digerakkan seimbang.
Pertanyaan yang tersisa adalah apakah warisan Habibie di atas, yang oleh Dewi juga disebut sebagai mukjizat, bersifat langgeng, berkelanjutan? Hingga kini, benar Indonesia tetap menjadi negara demokratis dengan pers bebas dan kebebasan menyatakan pendapat dijamin. Dalam perekonomian pun ada prospek bagus.
Namun, biarlah zaman yang menguji, apakah warisan Habibie tidak hanya berlanjut, tetapi juga lebih dari itu, membuahkan hasil lebih baik bagi negara dan bangsa Indonesia, baik dari sisi kebebasan politiknya maupun dari kesejahteraan rakyatnya.
Catatan Redaksi:
Tulisan ini diterbitkan di harian Kompas, Selasa, 26 Juni 2018, di halaman 2.