Kehadiran teknologi 5G tak hanya menjawab tantangan kecepatan mengunduh yang lebih baik, tetapi juga membuka pintu kemungkinan digitalisasi berbagai aspek kehidupan
Oleh
DIDIT PUTRA ERLANGGA R
·3 menit baca
Kehadiran teknologi 5G tak hanya menjawab tantangan kecepatan mengunduh yang lebih baik, tetapi juga membuka pintu kemungkinan digitalisasi berbagai aspek kehidupan. Inilah pesan yang seharusnya disampaikan ke pengguna, pemerintah, dan operator telekomunikasi.
Salah satu keunggulan 5G terletak pada latensi rendah sehingga memungkinkan koneksi yang berlangsung dengan jeda yang minimal. Kelebihan ini memungkinkan koneksi dengan perangkat yang terpaut jarak dengan kualitas yang jauh lebih baik.
Skenario implementasinya sudah diuji coba di sektor pertambangan. Operator mesin berat tak lagi harus berada di daerah berbahaya karena bisa mengoperasikan dari lokasi yang aman melalui jaringan 5G. Latensi rendah memungkinkan operasi jarak jauh dilakukan secara akurat dan presisi.
Sesuatu yang mustahil sebelumnya mulai menjadi masuk akal berkat teknologi 5G, yakni telekesehatan atau pembedahan jarak jauh. Dokter di perkotaan bisa memberikan tindakan medis kepada pasien yang berada di daerah pinggiran dengan akses layanan kesehatan yang terbatas.
Bagi pengguna umum, latensi rendah berarti jaminan kualitas data meski dalam keadaan bergerak. Uji coba yang dilangsungkan di kendaraan yang melaju di sekitar kompleks China Mobile pada 3 September 2019 menghasilkan kecepatan internet 1 Gbps, sementara pada posisi berhenti bisa mencapai 1,4 Gbps.
Berdasarkan data Asosiasi GSM (GSMA) per 30 Juni 2019, sudah ada 25 jaringan 5G komersial yang diluncurkan yang didominasi negara di Eropa, sementara 86 operator telekomunikasi sudah mengumumkan jadwal peluncuran layanan tersebut.
Asia Pasifik akan menjadi episentrum dari tren teknologi ini. Sebab, pada 2025 diperkirakan lebih dari separuh koneksi 5G akan berlangsung di kawasan ini, yakni 675 juta koneksi. Dalam 15 tahun ke depan, teknologi 5G akan menyumbang 890 miliar dollar AS kepada ekonomi Asia Pasifik.
”Aplikasi 5G menjadi tantangan bagi dunia. Ekosistem harus berinovasi bersama demi mencari tuntutan, teknologi, layanan, dan model bisnis yang baru,” ujar Zhiqin Wang, Wakil Presiden Akademi Informasi dan Komunikasi China, dalam perhelatan Huawei Asia-Pacific, awal September 2019.
Perhelatan yang berlangsung di Chengdu, China, itu memberikan gambaran bahwa negara tersebut mulai menyambut era 5G setelah pemberian lisensi 5G komersial kepada empat operator telekomunikasi, yakni China Telecom, China Mobile, China Unicom, dan China Broadcasting Network.
Mereka langsung bergerak cepat. China Mobile memperkenalkan produk 5G dan membangun 50.000 titik yang akan melayani 5G untuk 50 kota di tahun 2019, sedangkan tahun berikutnya sudah melayani 5G untuk seluruh kota di China. China Telecom mengembangkan layanan ke industri, seperti konstruksi, transportasi, energi, kepolisian, dan kesehatan.
Demi menggapai mimpi 5G tersebut, perencanaan di tingkat nasional sudah berlangsung mulai Rencana Lima Tahun ke-13 (2016-2020) dengan promosi pengembangan 5G, diikuti strategi nasional untuk teknologi informasi agar memiliki jaringan 5G terdepan di tingkat dunia tahun 2025.
Kebijakan di tingkat nasional juga diikuti pemerintah daerah. Hingga Juli 2019, sudah ada 15 pemerintah provinsi dan 20 pemerintah kota di China yang menerbitkan peraturan untuk 5G.
Pengamat telekomunikasi, Heru Sutadi, mengatakan, Indonesia harus menyelesaikan beberapa masalah sebelum menyambut 5G meski saat ini sudah ada beberapa operator telekomunikasi yang menguji coba jaringan.
Masalah pertama adalah memastikan ketersediaan frekuensi yang memungkinkan jangkauan yang luas sehingga mengurangi biaya infrastruktur bagi operator.
China menggunakan pita frekuensi 2,6 GHz dan 3,5 GHz yang digunakan untuk keperluan satelit di Indonesia. Indonesia juga harus memastikan frekuensi yang akan dialokasikan untuk 5G sinkron dengan negara lain. Tujuannya, perangkat ponsel yang ada di Indonesia bisa digunakan saat pemiliknya berada di luar negeri.
Pekerjaan lainnya adalah membentuk ekosistem untuk merumuskan kebutuhan yang khas dari pengguna, pemerintah, dan pelaku industri. Selain itu, juga mempelajari cara pikir lokal untuk mengadopsi teknologi baru. Pembedahan jarak jauh, misalnya, belum tentu cocok, antara lain terkait kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap teknologi.
Pekerjaan rumah menanti, tetapi hasil yang menanti di sana akan sebanding.