Pemecatan Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton oleh Presiden Trump merefleksikan perselisihan pendapat keduanya atas sejumlah kebijakan luar negeri AS.
WASHINGTON, RABU— Perseteruan yang terjadi antara Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton dan Presiden AS Donald Trump berakhir dengan pemecatan Bolton. Salah satu pemicu perseteruan itu adalah gagalnya perundingan perdamaian Afghanistan yang diprakarsai AS pekan lalu.
Menurut laporan The New York Times, Kamis (10/9/2019), pemecatan penasihat keamanan yang dikenal hawkish itu dikarenakan perselisihan dalam setahun terakhir terkait penanganan kebijakan luar negeri yang menjadi prioritas AS, seperti penanganan denuklirisasi Korea Utara, denuklirisasi Iran, dan perdamaian Afghanistan.
Perbedaan pendapat keduanya mencapai klimaks ketika Bolton berupaya agar Trump tidak menandatangani perjanjian damai di Camp David dengan para pemimpin kelompok Taliban Afghanistan. Trump akhirnya memang membatalkan rencana itu, tetapi ia berang dengan proses yang ditangani Bolton.
Dalam Twitter-nya, Trump tanpa basa-basi menyatakan telah memecat penasihatnya. ”Saya telah informasikan kepada John Bolton semalam bahwa dia tidak dibutuhkan lagi di Gedung Putih. Saya sangat tidak menyetujui sejumlah pandangannya,” tulis Trump.
Bolton tidak tinggal diam, ia membalas ucapan Trump di Twitter dengan menyatakan bahwa dirinya tidak dipecat, tapi mengundurkan diri dan pengunduran diri itu merupakan inisiatifnya. ”Saya mengajukan pengunduran diri semalam dan Presiden Trump mengatakan, ’Mari kita bicarakan besok’.”
Sebetulnya, baik Trump maupun Bolton memiliki kesamaan pandangan sebagai orang yang menganggap AS paling hebat dan skeptis terhadap gagasan multilateralisme ataupun globalisme. Selama menjadi penasihat Trump, Bolton telah mendorong agar AS keluar dari sejumlah kesepakatan internasional, antara lain Kesepakatan Nuklir Iran.
Makin tajam
Perbedaan di antara keduanya menajam ketika Trump memutuskan membatalkan serangan udara ke Iran, juga ketika Trump berkeras bertemu dengan pemimpin Korut, Kim Jong Un, di Zona Demiliterisasi (DMZ). Berbeda dengan Trump, Bolton berkeras mendorong Trump menyerang Iran, dan terkait Korut, Bolton berupaya mencegah pertemuan Trump-Kim.
Isu Rusia juga menjadi batu sandungan hubungan keduanya. Trump sangat ingin merangkul Presiden Rusia Vladimir Putin, sedangkan Bolton menganggap Rusia sebagai pihak yang agresif. Ketika Trump di pertemuan G-7 lalu mengusulkan agar Rusia diundang kembali ke kelompok itu, Bolton justru terbang ke Ukraina untuk meyakinkan Kiev bahwa AS berada di belakang mereka menentang agresi Rusia.
Isu lainnya yang juga membuat Trump berang adalah Venezuela. Bolton sangat yakin jika AS mendukung tokoh oposisi Juan Guaido, Presiden Nicolas Maduro bisa digulingkan. Namun, sampai saat ini Maduro tetap berkuasa.
Pengunduran diri Bolton mengejutkan pendukung dan juga lawan-lawan politiknya. Bagi pendukungnya, Bolton adalah sosok yang bisa bersikap tegas kepada Trump, sedangkan bagi lawan politik, kepergian Bolton telah menghindarkan dunia dari peperangan.
”Jika Bolton yang mengendalikan keputusan, Amerika mungkin sudah terlibat dalam empat perang,” kata seorang pejabat AS.
Pemerintah Iran kemarin menanggapi pengunduran diri Bolton dengan menyatakan, Washington harus berhati-hati. ”Amerika harus membuat jarak dengan para pemburu perang.” kata Presiden Iran Hassan Rouhani tanpa menyebut Bolton, seperti dikutip kantor berita Tashim. (AP/AFP/MYR)