Alexander Marwata: KPK Akan Dorong Penyederhanaan Perizinan Usaha
Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Alexander Marwata, menilai perlu ada perbaikan sistematis terhadap sistem tata kelola dan perizinan yang selama ini menjadi celah utama terjadinya tindak pidana korupsi.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Alexander Marwata, menilai perlu ada perbaikan sistematis terhadap sistem tata kelola dan perizinan yang selama ini menjadi celah utama terjadinya tindak pidana korupsi. Apabila terpilih sebagai pimpinan KPK, ia berjanji mendorong penyederhanaan proses perizinan.
Hal itu disampaikan Alexander Marwata dalam uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan (capim) KPK oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (12/9/2019). Ia merupakan capim keenam dari total 10 capim yang mengikuti tes itu.
Alexander yang juga petahana salah satu unsur pimpinan KPK mengatakan, korupsi di instansi pemerintah sudah terjadi secara sistematis, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban suatu kegiatan. ”Termasuk di dalamnya proses perizinan,” ujarnya.
Ia menambahkan, selama ini birokrasi perizinan masih mengandung ketidakjelasan, baik dari segi persyaratan, waktu, maupun biaya. Hal itu banyak dikeluhkan pihak swasta yang perlu kepastian hukum untuk melaksanakan usaha.
”Kami mendorong agar ke depan pemberian izin (usaha) lebih disederhanakan. Pemerintah daerah juga baiknya membentuk pelayanan terpadu satu pintu secara elektronik (e-PTSP). Selain itu, KPK juga bekerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk memonitor pelaksanaan perizinan di daerah,” kata Alexander.
Meskipun demikian, menurut Alexander, celah korupsi tidak serta-merta tertutup dengan langkah itu. Ia mencontohkan, dalam pengadaan barang dan jasa, korupsi terbukti terjadi karena ada persekongkolan antara penyedia jasa dan oknum pemerintah. Dengan berbagai cara, persekongkolan itu mampu melemahkan sistem pencegahan korupsi yang telah dibangun.
Oleh karena itu, peningkatan integritas pemerintah dan swasta menjadi penting. ”Kami akan mengoptimalkan kepercayaan publik yang luar biasa terhadap KPK untuk menjadi influencer dalam rangka membangun tata kelola yang lebih baik dan transparan agar negara mendapatkan keuntungan dari investasi swasta dan pihak swasta pun mendapatkan kepastian hukum dalam berusaha,” kata Alexander.
Apabila terpilih kembali menjadi unsur pimpinan KPK, Alexander juga berjanji untuk menuntaskan sejumlah permasalahan, di antaranya manajemen pegawai serta kerja sama dengan kepolisian dan kejaksaan yang selama ini belum optimal. ”Perbaikan itu akan fokus saya lakukan dalam tiga sampai enam bulan pertama,” ucapnya.
Desakan
Uji kelayakan dan kepatutan terhadap Alexander dipenuhi oleh pertanyaan dari anggota Komisi III DPR mengenai sikap KPK kepada salah satu capim yang dinilai melanggar etik, yaitu Inspektur Jenderal Firli Bahuri, mantan Deputi Penindakan KPK. Dalam beberapa hari terakhir muncul protes masyarakat yang menganggap Firli sebagai capim bermasalah. Bahkan, kemarin, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang didampingi penasihat KPK, Tsani Annafari, dan Juru Bicara KPK Febri Diansyah menggelar konferensi pers yang menyatakan Firli pernah melanggar etik saat menjabat di KPK.
Sejumlah anggota Komisi III DPR, di antaranya Masinton Pasaribu dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Aboe Bakar Al Habsyi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, menanyakan kebenaran konten konferensi pers itu. Bahkan, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya Desmond J Mahesa menunjukkan surat yang dikirim pimpinan KPK kepada pimpinan DPR mengenai Firli.
Uji kelayakan dan kepatutan terhadap Alexander dipenuhi pertanyaan dari anggota Komisi III mengenai sikap KPK kepada salah satu calon pimpinan yang dinilai melanggar etik.
”Kemarin disampaikan bahwa ada pelanggaran etik salah satu calon, apa yang saudara ketahui tentang hal itu? Apakah keputusan KPK boleh dilakukan sendiri atau berdasarkan kesepakatan kolektif kolegial pimpinan? Apakah cara seperti itu lazim dilakukan KPK?” ujar Masinton.
Alexander menjawab, dirinya tidak mengetahui agenda konferensi pers. Terkait dengan dugaan pelanggaran etik terhadap Firli Bahuri memang pernah ada. Kasusnya sudah diproses hingga Dewan Pertimbangan Pegawai, tetapi tidak ada keputusan yang diambil. Sebab, sebelum proses tuntas, Firli sudah diminta untuk kembali bertugas di kepolisian. ”Oleh karena itu, pimpinan KPK menerbitkan surat pemberhentian dengan hormat untuk Pak Firli,” ucapnya.
Ia menambahkan, tiga dari lima unsur pimpinan KPK juga sudah sepakat bahwa kasus Firli sudah ditutup. Keputusan itu sudah memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai sikap lembaga.
Jawaban itu mengundang begitu banyak respons anggota Komisi III DPR. Tercatat tujuh dari total 26 anggota Komisi III yang hadir menyampaikan tambahan pertanyaan yang mengerucut pada satu gagasan. ”Apakah itu berarti konferensi pers kemarin itu ilegal?” kata Desmond.
Arteria Dahlan, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, mendesak persoalan itu harus dijawab Alexander karena menyangkut karier seseorang. Bahkan, Masinton menyebut KPK saat ini sudah berubah nama menjadi Komisi Penghambat Karier. Pembahasan khusus mengenai topik itu sangat menyita waktu, hingga 120 menit, sehingga uji kelayakan dan kepatutan hanya dihabiskan untuk membahas persoalan itu.