Negara maju membuktikan, tanpa sumber daya alam, mereka bisa memenangkan persaingan global. Modalnya adalah penduduk berkualitas yang dihasilkan dari investasi jangka panjang dan terarah.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·6 menit baca
Harian “Kompas” bersama Koalisi Kependudukan Indonesia menggelar diskusi kelompok terpumpun bertema “Pembangunan Manusia Indonesia ke Depan dengan Dukungan Satu Data Kependudukan” pada 21 Agustus 2019 di Redaksi Harian “Kompas”, di Menara Kompas, Jakarta. Diskusi yang dibuka Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani ini menghadirkan pembicara Ketua Umum Koalisi Kependudukan yang juga Deputi 7 Kemenko PMK Sonny Harry B Harmadi, Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Hasto Wardoyo, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrullah, serta Deputi Bidang Kajian Pengelolaan Isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden Deni Purbasari. Diskusi dipandu oleh Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Turro S Wongkaren.
Negara maju membuktikan, tanpa sumber daya alam, mereka bisa memenangkan persaingan global. Modalnya adalah penduduk berkualitas yang dihasilkan dari investasi jangka panjang dan terarah.
Indonesia kini ada di simpang jalan. Kekayaan alam yang selalu dibanggakan, terutama minyak dan gas bumi serta kayu hutan mulai habis. Saat bersamaan, investasi manusia yang dilakukan sejak awal kemerdekaan belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata.
Di saat bersamaan, infrastruktur Indonesia jauh tertinggal dibanding negara-negara lain yang berdampak pada kurang berkembangnya ekonomi dan terus terjadinya ketimpangan. Wilayah luas dan kondisi geografis yang beragam senantiasa dijadikan alasan.
Presiden Joko Widodo di periode pertama kepemimpinannya berusaha mengejar ketertinggalan infrastruktur itu lewat investasi fisik yang masif. Di periode keduanya, Joko Widodo ingin fokus membangun kualitas manusia menjadi unggul. Jika sumber daya manusia tidak disiapkan dari sekarang, Indonesia tidak akan pernah siap menjadi bangsa maju.
Pendidikan dan kesehatan adalah pilar utama pembangunan manusia. Masyarakat yang terdidik dan sehat punya peluang lebih besar meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Namun dalam dua hal mendasar itu, kondisi Indonesia tidak menggembirakan.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2019 yang diterbitkan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) menempatkan kualitas manusia Indonesia tahun 2017 di ranking 116 dari 189 negara. Ranking itu ditempati bersama Vietnam dan di bawah peringkat lima negara ASEAN lain.
Di luar angka-angka yang diukur dalam IPM, mutu manusia Indonesia memang membutuhkan percepatan dan upaya khusus untuk meningkatkan kualitasnya. Upaya itu juga harus dilakukan konsisten dan berkesinambungan mengingat investasi manusia adalah program jangka panjang yang tak kompatibel dengan usia politik.
Saat ini, sekitar 40 persen angkatan kerja Indonesia, umur 15-64 tahun, berpendidikan maksimal sekolah dasar. Angka harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah memang naik, tapi kualitas pendidikan masih rendah. Situasi itu membuat keahlian tenaga kerja lulusan perguruan tinggi di Indonesia setara dengan keahlian tenaga kerja lulusan SMA di Denmark.
Tak hanya sistem pendidikan yang belum memenuhi harapan dunia kerja, masyarakat pun masih memandang pendidikan sebagai upaya peningkatan status sosial, bukan peningkatan kompetensi.
Kemampuan baca
Kemampuan baca masyarakat pun rendah. Nilai membaca anak-anak Indonesia dalam Program Penilaian Siswa Internasional (PISA) 2015 hanya 397, jauh lebih rendah nilai rata-rata anak-anak di negara anggota Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebesar 493.
Rendahnya kemampuan baca itu membuat anak Indonesia mudah lelah memahami teks serius yang padat informasi dan dibutuhkan kemampuan analisis. Tak mengagetkan jika kemudian untuk membaca buka panduan yang banyak digunakan di dunia kerja, banyak terjadi kesalahpahaman.
Membaca buku, surat kabar atau situs berita memang belum jadi budaya bangsa. Survei Sosial Ekonomi Nasional Modul Sosial Budaya dan Pendidikan 2015 menunjukkan hanya 13,11 persen warga yang membaca surat kabar dan majalah serta 18,89 persen yang baca artikel atau berita elektronik.
Kondisi kesehatan masyarakat pun belum menggembirakan. Kematian ibu melahirkan dan anak masih tinggi. Sebanyak satu dari tiga balita alami tengkes (stunting) yang berdampak pada perkembangan otak, kemampuan kognitif dan kerentanan lebih tinggi terhadap sejumlah penyakit degeneratif saat dewasa.
Sebanyak 23 dari 100 remaja laki-laki umur 13-15 tahun sudah merokok. Selain itu, 26 dari 100 kematian penduduk berumur 30-70 tahun dipicu oleh empat penyakit degeneratif yang mahal penanganannya, yaitu kanker, diabetes, kardiovaskular, dan pernapasan kronis.
Kondisi itu membuat produktivitas manusia Indonesia sulit bersaing. Situasi itu diperparah dengan rendahnya etika kerja pekerja.
Global Competitiveness Report 2017-2018, Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyebut rendahnya etika kerja itu jadi salah satu hambatan bisnis di Indonesia. Hambatan lain terkait kualitas manusia adalah tidak sesuainya kompetensi pekerja, kriminalitas, rendahnya kemampuan inovasi dan jeleknya kesehatan publik.
Pengembangan karakter
Karena itu, pengembangan karakter perlu jadi bagian mendasar dalam pembangunan manusia Indonesia. Pembangunan karakter bangsa itu sebenarnya sudah ditekankan Presiden pertama RI Soekarno dalam berbagai pidatonya. Demikian pula lagu kebangsaan Indonesia Raya yang mengingatkan pentingnya membangun jiwa bangsa.
Manusia Indonesia harus memiliki kepribadian Indonesia. Untuk itu, pendidikan penguatan karakter bangsa harus diberikan dalam tiap jenjang pendidikan.
Tak hanya soal daya juang, kepercayaan diri, kerja efektif, atau berbagai karakter unggul yang dibutuhkan di kehidupan global, pendidikan karakter itu juga untuk mengingatkan beragamnya Indonesia hingga butuh toleransi dan keterbukaan. Semangat kebangsaan juga perlu terus dipupuk di tengah menguatnya politik identitas yang memecah belah masyarakat.
Di awal pemerintahannya, Joko Widodo sempat menggemakan Revolusi Mental. Namun, program itu akhirnya hanya jadi jargon yang sulit diimplementasikan. Terlebih, tak banyak kementerian dan lembaga yang menyuarakannya. Selain melalui pendidikan formal, penguatan karakter bangsa bisa juga melalui gerakan terstruktur seperti Gerakan Disiplin Nasional yang digaungkan Presiden Soeharto tahun 1995.
Penguatan karakter juga bisa dilakukan melalui keluarga. Keluarga memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas manusia. Namun, unit terkecil masyarakat itu sering terabaikan perannya dalam berbagai program pembangunan.
Akibatnya, keluarga harus bertarung sendiri menghadapi perubahan zaman yang makin menggerus nilai-nilai keluarga. Padahal, bangsa yang kuat hanya bisa terwujud jika keluarga juga kuat.
Berbagai isu kependudukan itu hingga kini belum menjadi isu utama dalam pengambilan kebijakan. Data tunggal tentang penduduk pun belum tersedia hingga membuat program pembangunan tumpang tindih dan kurang tepat sasaran. Akibatnya, upaya percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak optimal.
Tantangan lain dalam pembangunan manusia adalah tidak mudahnya mengoordinasikan kementerian dan lembaga yang mengelola program. Padahal, koordinasi itu dibutuhkan agar perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pengendalian pembangunan manusia agar terpadu dan terarah.
Meski demikian, pembangunan manusia itu tak lagi bisa ditunda. Semakin Indonesia tidak fokus mengembangkan potensi penduduknya yang mencapai lebih 266 juta jiwa, makin tertinggal pula manusia Indonesia dalam persaingan global.
Investasi manusia menjadi penting karena dibandingkan investasi yang bersifat fisik, seperti infrastruktur, investasi manusia lebih efektif meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi kemiskinan.
Untuk negara miskin dan berkembang, investasi manusia itu akan berdampak lebih besar jika dibarengi sikap terbuka, termasuk terhadap bangsa atau modal asing. Negara yang menutup diri, enggan berkolaborasi, akan kurang mampu merealisasikan potensi yang dimiliki.
Namun upaya pembangunan manusia itu tidak akan memberikan hasil optimal selama tidak terarah serta diikuti dengan perbaikan kelembagaan dan sistem insentif yang memadai. Karena itu, pembenahan berbagai regulasi perlu terus dilakukan secara menyeluruh dan nyata hingga ke daerah.
Hal lain yang perlu dijaga adalah konsistensi kebijakan pembangunan manusia. Siapapun presiden atau kepala daerahnya, program pembangunan manusia seharusnya tetap berjalan dan fokus. Kebijakan yang sering berubah akibat pergantian pimpinan akan membuat manusia Indonesia makin tertinggal di banding bangsa-bangsa lain.
author: MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
byline: MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
Editor:
evyrachmawati
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.