Korban Pengantin Pesanan Terus Berdatangan ke Tanah Air
Akar persoalannya adalah ekonomi dan minimnya sosialisasi tentang ancaman tindak pidana perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Seminggu ini, empat korban perdagangan orang dengan pengantin pesanan dari China kembali ke Tanah Air. Total paling tidak sudah 16 korban yang pulang, sejumlah korban belum bisa ”keluar” dari China.
JAKARTA, KOMPAS — Korban perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan dari China yang kembali ke Tanah Air terus bertambah. Setelah pekan lalu dua perempuan kakak beradik, PD (32) dan IF (24) asal Jawa Barat, Rabu (11/9/2019) dua korban lain, yakni RE (23) asal Jawa Barat dan MDS (24) asal Jakarta, pulang ke Indonesia setelah melarikan diri dari China.
Kepulangan empat perempuan korban modus pengantin pesanan asal Jawa Barat dan Jakarta tersebut semakin membuktikan bahwa wilayah atau daerah yang disasar jaringan sindikat tersebut tidak hanya di Kalimantan Barat, tetapi juga daerah-daerah di Pulau Jawa dan kemungkinan di provinsi lainnya.
RE dan MDS tiba di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, secara terpisah dengan menggunakan pesawat berbeda pada Rabu pagi dan siang. Keduanya melarikan diri dari China kemudian pulang ke Tanah Air setelah mendapat bantuan dari pemain film Baim Wong, yang sebelumnya juga membantu PD dan IF.
Ditemui Kompas, Rabu petang, RE dan MDS, yang didampingi Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Kabupaten Mempawah, Kalbar, Mahadir dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional SBMI Bobi Anwar Ma’arif mengatakan, selama di China mereka berkomunikasi dengan korban-korban lain yang bernasib sama dengan mereka. Ada delapan perempuan yang saling berkomunikasi, termasuk PD dan IF.
”Masih ada empat teman lain yang belum pulang. Bahkan, ada yang dipukul, tetapi tidak bisa melarikan diri karena paspornya diambil keluarga suami di China,” ujar RE.
Iming-iming mendapat uang
Sama seperti korban-korban lain dalam kasus perdagangan orang modus penganten pesanan dari China, RE dan MDS juga tidak tahu kalau mereka adalah korban pengantin perempuan. Mereka teperdaya oleh iming-iming orang yang berperan sebagai ”mak comblang” yang menjadi penghubung dengan calon suami dari China.
Selain mendapat uang mahar sebesar Rp 15 juta, yang kemudian dipotong oleh mak comblang berkisar Rp 1,5 juta- Rp 4 juta, mereka dibuat percaya bahwa itu adalah perkawinan yang sah. Ini karena ada yang melalui proses perkawinan secara agama dan mendapat surat atau akta perkawinan yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bekasi, Jabar.
”Setelah menikah secara agama, saya dan suami diminta datang ke Bekasi, kantor catatan sipil. Lalu disuruh tanda tangan, seingat saya ada empat petugas yang melayani. Hanya sekitar 30 menit, lalu kemudian ada petugas ketuk palu, katanya sudah sah,” kata MDS.
Hal yang sama juga dialami RE diminta datang ke Kantor Dinas Dukcapil Kota Bekasi. Namun, RE mengaku sempat mempertanyakan kepada mak comblang, proses perkawinannya yang menurutnya janggal karena tidak ada perkawinan secara agama.
Mengapa mau dijodohkan dengan laki-laki China, baik RE maupun MDS mengaku mereka terpaksa melakukan itu karena kondisi ekonomi keluarga. Baik RE maupun MDS adalah orangtua tunggal.
Sebelum menikah dengan orang China tersebut, RE dijanjikan setelah menikah setiap bulan suaminya itu akan mengirim uang ke anaknya sebesar Rp 2 juta. begitu juga MDS dijanjikan suaminya akan mengirim uang Rp 5 juta per bulan ke ibu dan anaknya di Jakarta.
”Sampai diChina, semua itu tidak terjadi. Hanya Rp 1 juta uang yang dikirim, sedangkan hidup saya menderita, hanya diberi makan satu kali dalam sehari,” ujar MDS.
Minim sosialisasi
Menurut Bobi, ”Akar persoalannya adalah ekonomi dan minimnya sosialisasi tentang ancaman tindak pidana perdagangan orang (TPPO) modus pengantin pesanan. Kami berharap pemerintah bisa aktif mensosialisasikan soal TPPO modus pengantin perempuan sampai ke daerah-daerah, sampai ke desa-desa,” ujar Bobi.
Korban TPPO modus pengantin pesanan yang didampingi SBMI yang sudah pulang ke Indonesia sebanyak 16 orang.
Mahadir menegaskan meskipun hingga kini sudah banyak korban yang terungkap, penegakan hukum terhadap jaringan pelaku masih sangat rendah. ”Dari empat jaringan sindikat berbeda, yang kami tahu baru satu yang tersentuh,” kata Mahadir yang selama ini dikontak sejumlah korban pengantin pesanan dari Kalbar dan daerah-daerah lain.
Anggota Komnas Perempuan, Thaufiek Zulbahary, menyatakan, terungkapnya berbagai kasus tersebut mengindikasikan bahwa modus TPPO pengantin pesanan ini telah berkembang luas di Indonesia, bukan hanya di Kalimantan Barat. ”Perlu diwaspadai masifnya perekrutan dengan jaringan terorganisir dan luas serta banyaknya mak comblang yang mencari korban hingga ke desa-desa,” katanya.
Menurut Thaufiek, perlu ada persamaan persepsi tentang modus perkawinan sebagai TPPO. Sebab, belum meratanya persepsi di kalangan aparat penegak hukum dan pihak terkait lainnya membuat upaya-upaya pencegahan dan penegakan hukum belum optimal dilakukan, serta berujung pada penegakan hukum yang lemah dan tidak menimbulkan efek jera pada para pelaku.