Kualitas SDM Dapat Disiapkan sejak Sebelum Kelahiran
Kualitas SDM yang baik ditentukan sejak dari hulu. Dalam mempersiapkan kelahiran anak, misalnya, dibutuhkan sel sperma dan sel telur berkualitas dari kedua orangtua. Hal ini terutama untuk mencegah tengkes (”stunting”).
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Dari sisi kesehatan, kualitas sumber daya manusia sebenarnya bisa ditentukan sejak sebelum kelahiran. Pencegahan gangguan kesehatan dan gizi sedari awal semestinya disadari semua keluarga demi menjaga kualitas SDM ke depan.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo di Hotel Santika Premier, ICE Bumi Serpong Damai, Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (12/9/2019), mengatakan, kualitas SDM yang baik ditentukan sejak dari hulu. Dalam mempersiapkan kelahiran anak, misalnya, dibutuhkan sel sperma dan sel telur berkualitas dari kedua orangtua. Hal ini terutama untuk mencegah tengkes (stunting).
”Sel sperma bagi ayah bisa disiapkan 75 hari sebelumnya dengan tidak merokok atau banyak mengonsumsi vitamin C. Adapun bagi ibu bisa mengonsumsi asam folat atau zink (seng),” ujarnya dalam pembekalan Musyawarah Nasional IV Koalisi Kependudukan Indonesia di Tangerang, Kamis.
Selain Hasto, pembicara dalam pembekalan tersebut adalah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono, Bupati Landak Karolin Margret Natasa, serta Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Muhadjir Darwin.
Hasto mengatakan, masalah tengkes seharusnya dicegah sejak hulu, bukan ditangani saat anak sudah lahir. Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah menjaga kesehatan perempuan dengan mencegah pernikahan dini atau hamil di luar nikah pada usia remaja.
Hubungan seksual pada usia dini dapat menyebabkan perempuan terkena kanker mulut rahim saat usia dewasa. Hal ini terjadi lantaran kondisi mulut rahim perempuan yang berusia kurang dari 20 tahun berbeda dengan perempuan dewasa.
”Kanker mulut rahim tersebut akan muncul pada 15-20 tahun mendatang,” katanya.
Kesadaran jarak kehamilan
Selain itu, tingginya risiko kematian bagi ibu melahirkan juga disebabkan oleh kurangnya kesadaran untuk menjaga jarak kehamilan. Menurut Hasto, lama ibu mengandung hingga menyusui idealnya adalah 33 bulan. Jarak kehamilan tersebut, jika tidak diperhatikan, juga dapat berpengaruh pada tengkes dan autisme.
Risiko kematian ibu melahirkan tersebut juga menjadi perhatian Pemerintah Provinsi Jateng. Ganjar membuat program Jateng Gayeng Nginceng Wong Meteng (5NG) pada 2016 untuk menekan angka kematian ibu melahirkan dengan melibatkan bidan untuk menandai ibu-ibu hamil yang memiliki risiko tinggi.
”Sebelumnya, angka kematian ibu melahirkan di Jateng cukup tinggi. Itu karena ibu hamil tidak mendapatkan pemahaman yang baik terhadap risiko yang ia hadapi,” ujarnya.
Pentingnya data
Keberhasilan program di Jateng tersebut berangkat dari data. Ganjar menekankan pentingnya data dalam mengatasi masalah-masalah kependudukan. Selain menggunakan data dalam menekan angka kematian ibu, Ganjar juga menggunakan data kependudukan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran.
Berkat data kategori penduduk miskin, misalnya, pemberian bantuan bisa fokus menyasar kalangan yang benar-benar membutuhkan. Ganjar mengatakan, pendekatan data tersebut berhasil menurunkan angka kemiskinan di Jateng.
Saat ini, Indonesia tengah menyusun sistem satu data kependudukan. Hal itu akan diawali dari Sensus Penduduk 2020. Nantinya BPS akan menggunakan data kependudukan dari dinas kependudukan dan pencatatan sipil (disdukcapil) setempat sebagai basis dari sensus tersebut.
”Dengan metode yang baru tersebut, satu data kependudukan akan terwujud karena para petugas kami akan melakukan verifikasi di lapangan,” ujar Margo.
Tantangan
Acara pembukaan munas juga turut dihadiri Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo. Di depan para akademisi dan praktisi kependudukan yang hadir, Eko menyampaikan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menyambut bonus demografi.
Eko mengatakan, sedikitnya 60 persen penduduk saat ini berpendidikan sekolah dasar atau sekolah menengah pertama. Indonesia juga memiliki kasus tengkes sebanyak 30,8 persen. Pemerintah melalui dana desa sebesar Rp 257 triliun yang dikucurkan dalam empat tahun terakhir telah membangun infrastruktur peningkatan SDM melalui puluhan ribu bangunan pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga pos pelayanan terpadu (posyandu).
”Meski ada penurunan tengkes dari 37,2 persen menjadi 30,8 persen, ini masih menjadi tantangan terbesar untuk kita semua,” kata Eko.
Dunia akademik pun mengakui pentingnya keluarga dalam menghasilkan generasi muda berkualitas Indonesia. Muhadjir mengatakan, keluarga memegang peranan penting dalam membentuk kualitas SDM Indonesia karena pendidikan anak dimulai dari keluarga.
Oleh sebab itu, perlu ada penguatan sosial, ekonomi, dan kultural dalam sebuah keluarga. ”Kesadaran setiap individu akan pentingnya peran keluarga perlu dibangkitkan,” ujarnya.