Memberdayakan Perempuan Muda di Asia
Tren di Indonesia saat ini semakin sulit untuk bicara soal seksualitas karena isu ini justru dipolitisasi. Banyak isu yang justru semakin jauh dari HAM.
Ruby Subramaniam, aktivis perempuan sekaligus seniman art performance asal Malaysia, memperlihatkan serangkaian slide foto-foto yang menunjukkan sejumlah perempuan muda cantik dengan body painting warna-warni.
Ruby, Rabu (11/9/2019) kemarin, menceritakan bahwa dia sedang ”melawan” pelecehan seksual lewat serial foto-foto cantik para ”dewi” itu. Ini adalah salah satu caranya untuk memberdayakan perempuan.
Serangkaian acara digelar untuk menyemarakkan Asia Regional Youth Festival yang diselenggarakan oleh Asian-Pacific Resource and Research Centre for Woman (ARROW) di Kuala Lumpur, Malaysia, 9-13 September 2019. Acara seni lainnya adalah pameran instalasi dan seni, pembacaan puisi, monolog, pemutaran film, workshop, serta latihan kepemimpinan bagi perempuan muda.
Lembaga swadaya masyarakat terkait isu perempuan dari beberapa negara, seperti Bangladesh, India, Indonesia, Nepal, Pakistan, Filipina, Malaysia, dan Myanmar, menyiapkan booth pameran mereka yang diisi beragam hal. Indonesia, misalnya, menampilkan replika baju nikab hitam yang digunakan penyintas saat dia mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh sopir angkutan kota. Selain itu, ada foto-foto acara pemberdayaan perempuan.
Malaysia menampilkan X-Banner yang berisi informasi tentang tingkat kematian anak dan perempuan di Malaysia, juga sejumlah brosur. Laos juga menyiapkan materi tentang kesehatan reproduksi, sementara Nepal menyediakan brosur, foto-foto, dan pemahaman tentang kesetaraan dalam pernikahan.
Mencapai SDGs
ARROW menyelenggarakan festival ini untuk membangun gerakan generasi selanjutnya untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) guna memberdayakan perempuan muda di Asia dan agar pemerintah bertanggung jawab terhadap komitmen hak asasi manusia (HAM).
Festival ini akan dibuka oleh Wakil Menteri Perempuan Malaysia Yeoh Tseou Suan dan Wakil Menteri Pendidikan Malaysia Teo Nie Ching, Kamis (12/9/2019).
Direktur Eksekutif ARROW Sivananthi Thanenthiran mengatakan, festival ini diikuti puluhan anak muda dan aktivis yang mengadvokasi isu-isu anak muda, perempuan, kesehatan seksual, dan reproduksi dari Bangladesh, India, Indonesia, Nepal, Pakistan, Filipina, Malaysia, serta Myanmar.
Menurut Thanenthiran, Asia Pasifik memiliki jumlah anak muda yang sangat besar, 700 juta jiwa. Remaja dan perempuan muda di Asia bertransisi ke masa dewasa tanpa informasi yang memadai, terutama informasi mengenai hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi (SRHR). Ini akan memengaruhi perkembangan fisik, sosial, kesehatan emosional, dan kesejahteraan mereka.
Untuk mencapai kemajuan di wilayah Asia Pasifik harus mengikuti jalur yang telah ditetapkan oleh agenda SDGs tahun 2030 yang terdiri dari 17 SDGs dan 169 target. Negara pun telah berkomitmen untuk melaksanakan program aksi Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD PoA) serta Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing (PoA Beijing) yang keduanya identik dengan SRHR.
Kedua program aksi ini merupakan bagian integral mengatasi tantangan terkait dengan HAM, kesetaraan jender, bebas dari diskriminasi, populasi dan kualitas hidup, urbanisasi dan migrasi, serta yang paling penting adalah kesehatan seksual dan reproduksi, khususnya perempuan dan orang muda.
”Ada banyak kemajuan khususnya kesehatan ibu, pendidikan, dan usia harapan hidup. Namun, di wilayah kita hal itu masih jauh dari tujuan SDGs. Ini bisa berdampak pada anak muda di wilayah kita,” kata Thanenthiran.
ARROW menjalin kerja sama dengan orang-orang dan banyak lembaga swadaya masyarakat untuk terus menggaungkan isu SRHR. Melalui festival inilah dibangun kerja sama untuk tahun-tahun mendatang.
”Tujuan kami adalah untuk memberdayakan anak-anak muda yang mengadvokasi isu ini, juga para aktivis yang mengampanyekan SRHR, mengupayakan kesetaraan jender, meningkatkan partisipasi orang muda dan akses universal untuk mencapai kualitas kesehatan dan pendidikan yang lebih baik. Kami ingin agar para perempuan muda bisa mengakses informasi serta layanan kesehatan seksual dan reproduksi, juga menghilangkan diskriminasi dan praktik kekerasan tradisional,” kata Thanenthiran.
Semakin sulit
Menurut Prameswari Puspa Dewi, Koordinator Nasional Koalisi Indonesia untuk Seksualitas dan Keberagaman (KITASAMA), tren di Indonesia saat ini semakin sulit untuk bicara soal seksualitas karena isu ini justru dipolitisasi. Banyak isu yang justru semakin jauh dari HAM. Bicara hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi saat ini sulit diterima oleh pemerintah dan masyarakat.
”Tentang layanan kesehatan reproduksi global, di tingkat awal kami mengalami kesulitan budget karena pemerintah tidak menganggarkan. Juga kemudian ke urusan soal hak. Misal, ada perempuan muda yang mengalami keputihan atau terlambat menstruasinya, karena menggunakan BPJS maka dia harus ke puskesmas. Sayangnya, di puskesmas karena dia masuk ke ruang periksa ibu dan anak, dia mendapat stigma kalau dia perempuan tidak baik. Padahal, dia hanya ingin tahu apa yang sedang terjadi pada tubuhnya,” kata Puspa.
Puspa melanjutkan, pihaknya bekerja sama dengan petugas puskesmas untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat agar tidak mudah menstigma orang. ”Ketika tenaga kesehatan mau terlibat, demand ternyata turun karena perempuan-perempuan muda malu memeriksakan diri,” kata Puspa.
Hal senada diungkapkan Ayunita Kurnia Ningsih, Koordinator Aktivisme Pamflet, organisasi anak muda peduli HAM. Memberikan informasi kepada anak-anak muda bahwa mereka punya hak untuk mengakses informasi kesehatan seksual dan reproduksi tersebut harus melalui berbagai cara.
”Bahasa yang kami pakai adalah dengan pendekatan yang mereka suka, misal film dan musik yang digabungkan dengan isu-isu yang mau kita angkat. Juga info melalui medsos, seperti Instagram. Akun kami Beda itu Biasa,” kata Ayunita.
Bagaimanapun generasi yang akan datang sangat bergantung kepada perempuan-perempuan muda saat ini. Jika mereka berdaya, tentu akan melahirkan generasi-generasi tangguh di masa mendatang.