Tahun 2019 ini menandai 70 tahun Konvensi Geneva 1949, acuan hukum humaniter internasional yang mengatur perlindungan warga sipil dalam perang atau area konflik bersenjata. Berbagai upaya perlindungan warga sipil di wilayah konflik bersenjata telah dilakukan. Namun, angka korban warga sipil tetap tinggi, dan dampak penderitaan yang mereka pikul semakin mengerikan.
Pada tahun 2018, misalnya, PBB mencatat lebih dari 22.800 warga sipil meninggal dan terluka hanya di enam negara, yaitu Afghanistan, Irak, Mali, Somalia, Sudan Selatan, dan Yaman. Untuk Afghanistan, PBB memiliki catatan khusus. Sepanjang 2018, sedikitnya 3.804 warga sipil tewas di negara tersebut.
Menurut PBB, angka itu merupakan jumlah korban tewas warga sipil tertinggi secara tahunan dalam perang Afghanistan yang hampir menginjak dua dekade. Jumlah kematian warga sipil itu melonjak 11 persen dari tahun 2017. Angka ini belum termasuk korban luka-luka yang mencapai 7.189 orang.
Hal itu juga belum termasuk dampak penderitaan lainnya, seperti puluhan jutaan warga yang menjadi pengungsi, serta kerusakan bangunan dan fasilitas publik. Dampak penderitaan akibat konflik di Yaman, misalnya, kerap disebut sebagai krisis kemanusiaan tunggal terbesar di dunia.
Pengabaian hukum humaniter
Besarnya jumlah korban warga sipil dan mengerikannya dampak penderitaan mereka akibat konflik bersenjata memperlihatkan masalah ketidakpatuhan terhadap hukum humaniter internasional. Hukum ini juga disebut hukum perang.
Hukum itu memuat serangkaian peraturan yang mengatur bagaimana perang dilakukan, siapa yang harus dilindungi, apa saja jenis dan bentuk senjata yang dilarang, bagaimana penanganan tawanan perang, dan lain-lain. Peraturan tersebut telah dikodifikasi dalam sekumpulan hukum, yang sebagian besar berdasarkan Konvensi Geneva 1949.
”Satu hal yang kami kenali, tak satu pun konflik terjadi sesuai dengan aturan-aturan hukum humaniter internasional,” kata Charlie Dorman-O’Govan, Koordinator Regional untuk Urusan Kemanusiaan Komite Internasional Palang Merah.
Satu hal yang kami kenali, tak satu pun konflik terjadi sesuai dengan aturan-aturan hukum humaniter internasional.
”Selalu ada pelanggaran hukum humaniter internasional, apakah itu disengaja atau mungkin karena kesalahan,” lanjut Dorman-O’Govan. ”Ini fenomena yang kompleks dalam konflik bersenjata.... Yang berusaha kami lakukan, meminimalisasi pelanggaran hukum humaniter internasional dan meminimalisasi dampak bagi warga sipil.”
Isu perlindungan warga sipil dan para korban dalam konflik bersenjata menjadi perhatian utama Komite Internasional Palang Merah (ICRC). Dorman-O’Govan menjelaskan, isu tersebut menjadi salah satu dari mandat utama ICRC, selain mempromosikan hukum humaniter internasional dan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Konvensi Geneva 1949
Didirikan tahun 1863 oleh pengusaha Swiss Henry Dunant yang menyaksikan keganasan pertempuran Solferino, ICRC merupakan cikal-bakal Konvensi Geneva 1949. Konvensi ini telah diratifikasi oleh 196 negara dan menjadi acuan hukum humaniter internasional.
Dengan mandat yang diberikan melalui konvensi tersebut, ICRC beroperasi dalam misi perlindungan warga sipil dan para korban konflik bersenjata. Di dalam ICRC tergabung 190 perhimpunan nasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah serta Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Nasional.
Dorman-O’Govan menjelaskan, dalam menjalankan operasi di wilayah konflik bersenjata, ICRC berbicara dengan semua pihak yang terlibat konflik. Hal ini sangat penting untuk memastikan adanya akses dalam misi perlindungan korban.
”Kami berbicara dengan semua pihak di wilayah konflik bersenjata. Kami berbicara dengan pihak-pihak yang mengangkat senjata, kami juga menjalin kontak dengan warga sipil, juga dengan pihak pemerintah,” paparDorman-O’Govan, pria berkewarganegaraan Irlandia yang sudah 10 tahun bergabung ICRC itu.
Diplomasi kemanusiaan
Misi ICRC tidak terbatas pada wilayah konflik bersenjata. Dalam situasi tidak ada konflik, ICRC mengampanyekan pemahaman dan kesadaran tentang hukum humaniter internasional. Itu sebabnya, organisasi tersebut juga membuka kantor di sejumlah kota dari beberapa negara yang tidak dilanda konflik bersenjata, seperti Tokyo, Beijing, London, Paris, New York, dan juga Jakarta.
ICRC menyebut misi tersebut dengan istilah diplomasi kemanusiaan. Melalui diplomasi itu, isu-isu humaniter diangkat melalui dialog dengan kelompok masyarakat sipil. Pada level antarnegara, diplomasi itu dibangun melalui forum-forum multilateral, semacam ASEAN dan PBB.
Dalam kaitan tersebut, ICRC bekerja sama dengan Fakultas Syariah Universitas Islam Sunan Ampel Surabaya menggelar kursus bersertifikat tentang hukum humaniter internasional dan hukum Islam dalam konflik bersenjata di Surabaya, Jawa Timur, 2-5 September lalu. Acara ini diikuti 44 peserta, terdiri dari dosen hukum, praktisi hukum, jurnalis, dan aparatur pemerintah. Beberapa peserta datang dari Malaysia dan Filipina.
”ICRC berkepentingan menyebarluaskan pemahaman hukum humaniter internasional,” kata Kepala Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor Leste Alexandre Faite.
Dengan kebanyakan peserta berlatar belakang keahlian dalam hukum Islam, salah satu pokok bahasan utama kursus itu adalah keterkaitan antara hukum humaniter internasional dan hukum Islam. Penasihat Hukum (Hukum dan Yurisprudensi Islam) ICRC Ahmed al-Dawoody, pemateri bahasan itu, memaparkan berbagai rumusan hukum Islam terkait perang, dan berkesimpulan bahwa ada kesesuaian antara hukum Islam dan hukum humaniter internasional.