”Mr Crack” dan Pesan untuk Bangsanya
”Jangan terlalu banyak diskusi, jangan cengeng, tetapi terjunkan diri ke proses nilai tambah secara konsisten, pasti Indonesia akan terkemuka di Asia Tenggara dan di dunia.” (BJ Habibie, Kompas, 9/3/1986)
Naik ke jenjang presiden RI menggantikan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 tak dapat disangkal merupakan moment of triumph paripurna bagi Bacharuddin Jusuf Habibie. Namun, sebagai insinyur par excellence, moment of triumph baginya terjadi pada 10 Agustus 1995, sepekan sebelum Republik yang dicintainya merayakan Tahun Emas. Itu adalah saat pesawat N-250 Gatotkaca yang merupakan brain child-nya terbang perdana dari Pangkalan Udara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat.
Saat itu Habibie menyatakan, pesan terpenting dari penerbangan N-250 adalah sebagai inspirasi bagi generasi muda Indonesia, yang banyak di antaranya belum dapat mengenyam pendidikan yang memadai. Hal yang bertahun kemudian masih jadi soal tatkala Indonesia hidup di dunia baru—dunia digital—yang di era kejayaan Habibie belum tampak.
Habibie, atau BJH sebagai panggilan akrabnya, adalah insinyur dan teknolog tulen.
Kepada wartawan yang menunjukkan minat pada dunia kedirgantaraan, dengan bola matanya yang berbinar dan gerak tangan gesit menirukan pesawat yang sedang lepas landas, BJH tak segan berbagi kisah tentang teori aeronautika, seperti konsep dengan mesin unducted-fan yang semula direncanakan untuk membuat pesawat propfan kerja sama segitiga antara IPTN, Boeing Commercial Airplane Co, dan Messerschmitt Bolkow Blohm.
Pesawat dan mimpi BJH untuk membangun IPTN agar tumbuh berkembang sehingga menjadi semacam ”Everett dari Timur” kandas ketika Indonesia ikut dilanda krisis keuangan yang berbuntut pada krisis ekonomi dan juga krisis sosial-politik (Everett adalah salah satu pabrik Boeing di dekat Seattle, Amerika Serikat). N-250 Gatotkaca dan saudaranya, seperti Krincingwesi, lalu jadi onggokan besi tua di hanggarnya.
Namun, krisis itu pula yang lalu mengantarnya ke posisi orang nomor satu di negeri ini meski BJH hanya menjabat selama 17 bulan (21 Mei 1998-20 Oktober 1999). BJH yang demokratis legawa tak mencalonkan diri lagi ketika pidato pertanggungjawabannya ditolak MPR.
Di luar kontroversi tentang masa kepresidenannya, BJH banyak menorehkan tonggak bagi perjalanan Indonesia selanjutnya.
Dalam diskusi saat mengenang HUT ke-82 pada 24 Juni 2018 di Habibie Center muncul pendapat, karena dia ahli penerbangan, ia menganalogikan Indonesia sebagai pesawat yang tengah mengalami stall (kehilangan daya angkat) dan menukik tajam ke bawah.
Habibie saat itu berpikir lugas bahwa tidak ada alternatif lain bagi pesawat (Indonesia) kecuali menyelamatkannya dengan menghentikan stall dan mengangkatnya naik kembali.
Habibie setidaknya telah berhasil menghentikan krisis saat itu. Selain memberi kebebasan pers, ia juga memberi kebebasan kepada rakyat untuk menyalurkan aspirasi politik, hingga jumlah partai politik menjamur. Pemilu pun berlangsung jujur dan adil atas tuntutan rakyat.
Lebih dari itu, kondisi ekonomi pun dibenahi, yaitu dengan menurunkan inflasi yang 80 persen hingga jadi 2 persen, sementara kurs rupiah terhadap dollar AS yang pada masa krisis mencapai Rp 16.000 per dollar turun menjadi di bawah Rp 10.000, satu saat bahkan Rp 6.500, hal yang tak pernah dicapai lagi di masa sesudahnya hingga kini. Pertumbuhan yang minus 13 persen pun membaik menjadi 1 persen.
Satu hal yang banyak disorot pengkritiknya adalah lepasnya Provinsi Timor Timur melalui referendum sehingga provinsi tersebut lepas dari RI pada 30 Agustus 1999.
Namun, bagi diplomat Indonesia yang sebelumnya merasakan kerepotan menghadapi tekanan asing, yang oleh mendiang Menteri Luar Negeri Ali Alatas disebut sebagai mother of fatigue (pangkal kelelahan), isu Timtim akan terus menjadi kerikil di sepatu jika tak dibereskan (The Pebble in the Shoe, 2006) (Tirto.id).
Bapak Teknologi dan Guru Bangsa
Dewan Riset Nasional, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan delapan wahana strategis adalah warisan BJH. Meski dalam banyak kesempatan lembaga-lembaga itu tak lagi berada di jalur arus utama (mainstream), sesungguhnya bangsa Indonesia harus kembali menengok peninggalan ide BJH.
Dengan rentang geografis setara kontinental AS, yakni 5.300 kilometer, atau sejauh Istanbul- London, atau New York-San Francisco, penerbangan adalah niscaya bagi Indonesia jika ingin maju.
Dengan delapan wahana transformasi industri, dengan mengusung konsep nilai tambah, berawal dari akhir dan berakhir di awal, BJH meletakkan doktrin strategis bagi pembangunan Indonesia, yaitu melalui, antara lain, penguasaan teknologi penerbangan, perkapalan/maritim, transportasi darat, pertahanan, mekanisasi pertanian, serta rancang bangun, dan itulah jalan bagi Indonesia untuk meraih kemajuan.
Sembari menggeser paradigma dari keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif, BJH juga meyakini bahwa Indonesia juga akan maju jika berhasil mengganti komoditas migas dan tradisional menjadi nonmigas nontradisional.
Habibie sebenarnya sangat menghayati wejangan mentornya, yakni Presiden Soeharto. Pidato Presiden ke-2 RI di Pasar Klewer, 3 Juli 1971, tentang tinggal landas sangat mengena di sanubarinya dan itu yang ingin ia wujudkan.
Pak Harto yang sudah mengenal keluarga BJH saat memimpin Brigade Mataram dari Divisi Diponegoro menumpas pemberontakan Andi Azis menaruh kepercayaan besar kepada insinyur genius yang menemukan Teori Propagasi Retakan (pada sayap pesawat terbang, yang lalu melahirkan julukan ”Mr Crack” pada BJH).
Itu sebabnya, Pak Harto memanggilnya pulang ke Tanah Air dan BJH diterima di Jalan Cendana, 28 Januari 1974. Lalu setelah itu kariernya melesat bak meteor, tak hanya di kancah teknologi industri, tetapi ujungnya juga sampai politik.
Sebagaimana juga banyak diakui oleh berbagai kalangan, Pak Habibie yang selama sekitar seperempat abad membawa bendera teknologi layak disebut sebagai ”Bapak Teknologi”, sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo saat melayat di RSPAD Gatot Soebroto, Rabu (11/9/2019) petang, begitu mendengar pendahulunya wafat.
Kini Indonesia telah kehilangan satu lagi putra terbaiknya. Habibie yang berasal dari bidang keinsinyuran meyakini bahwa ”demokrasi tak boleh berhenti” (lihat The True Life of Habibie-Cerita di Balik Kesuksesan (A Makmur Makka, 2008).
Pak Habibie melalui ajarannya tentang cinta ilmu pengetahuan dan teknologi, tentang pentingnya proses nilai tambah, tentang perlunya kebebasan pers dan iklim demokrasi, adalah salah satu guru bangsa, bahkan guru bangsa yang aktual dan relevan tatkala Indonesia masih harus mencari jalan untuk mencapai kejayaan.
Pak Habibie kini telah menyusul istri tercinta—Hasri Ainun Habibie—yang telah mendahuluinya 22 Mei 2010 dan mendampingi BJH selama 48 tahun 10 hari.
Lamat-lamat, terdengar lagu ”Sepasang Mata Bola” ciptaan Ismail Marzuki yang sering dinyanyikan Pak Habibie saat studi di Jerman dan bertahun kemudian ia tugaskan mendiang komposer Yazeed Djamin untuk menggubahnya menjadi satu konserto piano yang indah bergaya virtuoistik. Selamat jalan, Pak Habibie, semoga beristirahat di surga abadi.