Peningkatan literasi masyarakat harus diikuti dengan pembangunan perangai ilmiah. Karakter ini dibutuhkan agar masyarakat selalu mengecek fakta sehingga bisa menangkal hoaks dan berita palsu.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan literasi masyarakat harus diikuti dengan pembangunan perangai ilmiah. Karakter ini dibutuhkan agar masyarakat selalu mengecek fakta sehingga bisa menangkal hoaks dan berita palsu, yang dapat mengganggu kehidupan berbangsa.
Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Berry Juliandi, di Jakarta, Rabu (11/9/2019), mengatakan, literasi yang baik dan perangai ilmiah ini bisa dibentuk melalui iklim riset yang baik. Dia menyampaikan hal ini terkait Hari Literasi Internasional pekan lalu.
Ekosistem riset yang dimaksud, menurut Berry, merupakan kondisi yang memungkinkan untuk menata, mengelola, menempatkan sumber daya, dan mendanai riset-riset secara berkualitas dan terpadu.
Selain akan mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan iklim literasi yang berkualitas, ekosistem riset yang baik juga akan membangun perangai ilmiah masyarakat. ”Perangai ilmiah ini mewujud dalam cara berpikir masyarakat yang sistematis, skeptis terhadap informasi, serta tersebarnya ide-de dan pengetahuan yang didasarkan observasi ilmiah dan faktual,” ujar Berry.
Perangai ilmiah ini mewujud dalam cara berpikir masyarakat yang sistematis, skeptis terhadap informasi, serta tersebarnya ide-de dan pengetahuan yang didasarkan observasi ilmiah dan faktual.
Menurut dia, perangai ilmiah ini sangat dibutuhkan untuk melawan gelombang pasca-kebenaran yang ditandai dengan membanjirnya hoaks dan berita palsu, yang dapat mengganggu kehidupan berbangsa.
Literasi yang baik saja tanpa perangai ilmiah tidak serta-merta akan menghentikan hoaks. ”Perangai ilmiah akan menuntun orang untuk memiliki kebiasaan melakukan cek fakta,” ucapnya.
Oleh karena itu, ALMI terus mendorong upaya pemerintah untuk mewujudkan ekosistem riset yang baik, seperti melalui penyusunan Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) lewat Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2018 dan rencana pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Hal ini sebenarnya telah dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
”Hadirnya kerangka aturan tersebut harus diterjemahkan dan diimplementasikan dengan baik, khususnya terkait tata kelola yang saat ini tumpang tindih dan perizinan riset yang panjang dan berbelit. Perubahan regulasi harus memihak kepada kepentingan riset, bukan sebaliknya, seperti yang selama ini terjadi,” ujarnya.
Selain perizinan, pendanaan riset juga masih menjadi masalah yang perlu dibenahi. Pada tahun 2019, Indonesia menganggarkan Rp 35,7 triliun atau hanya sekitar 0,24 persen dari produk domestik bruto (PDB) untuk riset. Dana ini tersebar di 45 kementerian dan lembaga. Selain itu, hanya 43,7 persen dari dana ini yang digunakan murni untuk riset, sementara lainnya untuk membiayai operasional.
Pada tahun 2019, Indonesia menganggarkan Rp 35,7 triliun atau hanya sekitar 0,24 persen dari produk domestik bruto untuk riset.
Dengan proporsi demikian, menurut Berry, sumber dana untuk riset masih terlalu kecil. Proporsi anggaran tersebut, bahkan, lebih kecil dibandingkan rata-rata anggaran riset negara-negara berkembang yang sudah di atas 1 persen.
”Dana memang masih menjadi masalah, tapi dana besar pun tak akan memiliki daya ungkit tanpa perbaikan pengelolaan. Jadi, badan baru yang nantinya akan dibentuk untuk mengelola riset secara terpadu harus benar-benar memahami bagaimana semestinya sebuah ekosistem riset hidup,” ujarnya.
Ilmuwan diaspora
Ketua ALMI Alan F Koropitan mengatakan, sejarah telah membuktikan, bangsa yang maju adalah yang memiliki ekosistem riset yang baik. Jadi, upaya membangun ekosistem riset menjadi sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan oleh Indonesia untuk mencapai cita-cita kemajuan bangsa, di samping tentu saja untuk membentuk peringai ilmiah masyarakat.
Hal penting lain untuk memperkuat produktivitas dan kualitas riset Indonesia, menurut Alan, adalah dengan menggalang sinergi ilmuwan dalam negeri dan ilmuwan diaspora. Saat ini terdapat sekitar 400 ilmuwan diaspora Indonesia di luar negeri. Mereka terdiri dari profesor dan asisten profesor. India dan China menjadi contoh negara yang memanen sukses dari sinergi riset dengan ilmuwan diaspora untuk memajukan sains dan teknologi mereka.
”Indonesia pun memiliki peluang yang sama. Oleh karena itu, ALMI dan para ilmuwan diaspora akan berjejaring dalam kluster riset yang ada,” ucap Alan.
Seperti diketahui, tingkat literasi ilmu pengetahuan di Indonesia masih sangat lemah. Hal ini terlihat dari survei Programme for International Student Assessment selama 15 tahun yang mencatat Indonesia sebagai negara dengan peringkat literasi sains terbawah. Pada 2016, skor PISA Indonesia di urutan ke-62 dari 70 negara untuk matematika, membaca, dan sains.
Survei Programme for International Student Assessment selama 15 tahun mencatat Indonesia sebagai negara dengan peringkat literasi sains terbawah.
Rendahnya kualitas literasi sains pun terjadi di tingkat perguruan tinggi. Beberapa lembaga pemeringkatan menempatkan perguruan tinggi di Indonesia dalam posisi rendah di tingkat global, bahkan juga di Asia. Riset Pritchett (2016) menyebut, keahlian tenaga kerja lulusan pendidikan tinggi di Indonesia setara dengan lulusan SMA ke bawah di Denmark.