Sublimasi Cinta Dua Dimensi
Habibie percaya, saat kelak wafat dan berada dalam dimensi yang sama dengan Ainun, dirinya akan kembali berjumpa dengan belahan hatinya itu.
”Di mana pun, dalam keadaan apa pun, kami tetap tak terpisahkan lagi. Seribu hari, seribu tahun, seribu juta tahun, sampai akhirat!”
(Chamber Symphony No 3,
An Ode to The Nation,
karya Ananda Sukarlan)
Pada suatu malam, 11 Agustus 2014. Hari itu adalah ulang tahun Ainun yang telah berpulang empat tahun sebelumnya. Sebuah pertunjukan musik klasik digelar privat di ruang perpustakaan pribadi Habibie di kediamannya. Pergelaran intim itu bertajuk ”Chamber Symphony #1 In Memoriam Ainun Habibie”, karya musisi dan komponis Ananda Sukarlan.
Seperti permintaan Habibie sendiri, Ananda ketika itu sengaja melibatkan musisi-musisi muda dalam orkestra yang dipimpinnya. Selama pertunjukan, Habibie terlihat sangat khidmat menyimaknya. Dia duduk di kursi paling depan bersama 30-an tamu. Sesekali ia manggut-manggut, kadang menatap tajam, dan ada kalanya dia bertepuk tangan. Ketika itu, ekspresi wajahnya lebih banyak ceria dan penuh senyum.
Tubuh Habibie yang terlihat mulai ringkih seolah kembali bugar ketika ia dengan menyala-nyala bercerita apa saja, terutama tentang Ainun. Soal komposisi karya Ananda yang digelar itu, menurut Habibie, mewakili perjalanan asmaranya dengan Ainun.
”Awalnya chaos, kemudian muncul konvergensi dan menjadi lagu yang harmonis,” kata Habibie mengomentari komposisi musik tersebut.
Sejak kepergian Ainun tahun 2010, publik seolah melihat Habibie tak lagi sekadar sebagai seorang tokoh yang identik dengan pencapaian ilmu dan segala yang berhubungan dengan teknologi.
Publik kini melihatnya sebagai sosok baru yang lebih ”manusia”, yakni seorang laki-laki yang desperately in love, nelangsa dalam cinta. Nelangsa ditinggal mati kekasih hatinya. Padahal, Habibie sebenarnya sudah melampaui itu.
Selepas ditinggal Ainun, Habibie tidaklah lantas terseret melankolia yang disangka orang. Cintanya kepada Ainun justru bukan cinta ala Romeo-Juliet yang fatalis.
Kesan tentang cinta yang tak melankolis itulah yang tertancap dalam benak Ananda Sukarlan, yang sejak 2013 berkolaborasi dengan Habibie dalam rangka menciptakan empat karya komposisi musik yang dipersembahkan untuk Ainun dan Yayasan Habibie & Ainun.
Kesan itu pula yang kemudian menapasi empat komposisi cinta tersebut. Keempat komposisi untuk Ainun itu diciptakan Ananda atas pesanan atau permintaan Habibie sendiri.
”Selama saya berinteraksi intensif dengan Pak Habibie itu, saya malah tidak menangkap kesan publik tentang cinta Pak Habibie yang mellow, malah enggak. Saya menangkapnya cintanya Habibie untuk Ainun itu enggak mendayu-dayu, enggak mellow, beyond eros. Cinta Habibie untuk Ainun yang tertangkap justru ada semangat, optimisme, dan ada unsur good humor (jenaka). Hmm, kata yang tepat saya kira sublime,” kenang Ananda.
Ananda semula tak terlalu menyadarinya. Namun, ketika selama dua tahunan berkolaborasi, hasilnya empat komposisi musik tentang cinta Habibie untuk Ainun itu ternyata tidak beraura melankolia sama sekali. Padahal, Ananda selama ini tidak asing dalam menciptakan karya-karya yang melankolis.
Alunan musiknya malah menurut Ananda menerbitkan unsur kejenakaan kanak-kanak yang genuine dan murni, yang membuat komposisi itu cocok untuk dibawakan dalam choir anak-anak. Ananda memahaminya sebagai bentuk cinta yang sublim, melampaui kefanaan.
”Ketika dia membicarakan Ainun dengan saya, tidak lalu, misalnya, jadi menangis atau jadi mellow. Enggak terlihat kesedihan yang tumpah. Tapi, walau tidak terlihat sedih, yang dia omongin selalu aja tentang Ainun melulu,” kata Ananda sembari tertawa.
Ananda semula bertanya-tanya atas sikap Habibie yang terlihat enteng-enteng saja itu, yang berbeda dari imaji publik luas selama ini. Sampai suatu saat, Ananda baru bisa memahaminya ketika Habibie mengungkapkan perasaannya.
”Saya bisa survived dan bahagia begini karena saya sudah berhasil bisa mencintai Ainun dalam dua dimensi yang berbeda,” kata Ananda menirukan ucapan Habibie.
Ungkapan itulah yang kemudian menginspirasi lahirnya komposisi ketiga untuk Ainun, yang penggalan liriknya dinukil di awal tulisan ini.
Ritual mengusap bantal
Pernah Habibie bertanya kepada Ananda apa yang ia lakukan pertama kali setiap bangun pagi. Ananda menjawab, ia akan mengecek linimasa di Twitter.
Ketika ditanya balik, Habibie mengaku, setiap membuka mata di pagi hari yang dilakukannya pertama-tama adalah mengusap bantal di sebelahnya sambil berkata, ”Ini sudah hari kesekian ratus kamu (Ainun) enggak berbaring di sebelah saya, tetapi saya merasakan kamu di sebelah saya,” kata Ananda menirukan ucapan Habibie.
Ananda berinteraksi intens dengan Habibie setelah Habibie melewati masa krisis ditinggal Ainun. Dalam kesan Ananda, Habibie justru bahagia bisa merasakan cinta yang sublime, yang mampu melintasi dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Cinta yang tak terbelenggu kefanaan fisik semata. Itu yang justru membuatnya bersemangat melalui sisa hidupnya karena cita-citanya jelas sudah: kelak ia akan berkumpul lagi dengan Ainun.
”Hal lain yang mungkin enggak banyak disadari publik, Habibie juga sangat mencintai dan peduli dengan dunia seni. Ia cinta musik klasik. Baginya, sebuah bangsa maju haruslah high tech dan high touch. High touch inilah maksudnya kesenian. Seperti Gus Dur dulu, dia juga berpesan kepada saya untuk menciptakan musik klasik yang beridentitas keindonesiaan,” kata Ananda.
Ananda tak berlebihan. Habibie memang nyatanya meninggalkan juga kenang-kenangan pesan cinta dalam dunia berkesenian, mulai dari film Habibie & Ainun, empat komposisi musik klasik garapan Ananda, hingga patung Habibie-Ainun di kampung kelahirannya, Parepare, Sulawesi Selatan.
Berpulangnya Habibie menyedot perhatian warganet dan masuk dalam jajaran topik terhangat Twitter dunia sejak pukul 19.00. Di antara untaian cuitan dukacita, muncul aneka cuitan yang mengingatkan kisah cinta Habibie dan Ainun. Ocehan warganet, khususnya kaum muda, soal Habibie justru lebih berpusar di kisah cintanya itu. Kata-kata ”true love”, ”cinta sejati” mewarnai cuitan soal kepergian Habibie.
Anak-anak muda tampaknya menjadikan relasi Habibie dan Ainun sebagai teladan dalam bercinta, semacam ”couple goals”, imaji pasangan cinta yang diinginkan setiap orang. Seperti cuitan akun @fithqa di Twitter: ”Habibie-Ainun, the real couple goals”. Akun @aswadbalontiaa mencuit, ”Ending couple goals hari ini, Habibie & Ainun di surga. Selamat jalan, Pak Habibie”.
”Cinta sejati itu nyata adanya. Bukan sekadar dongeng, Habibie & Ainun selamat berkumpul kembali di jannahNya, amin YRA,” cuit pemilik akun Twitter @dya_11677.
Ada pula warganet yang membagikan tautan cuplikan acara bincang bersama Habibie di program Mata Najwa tahun 2016. Saat itu, Habibie menuturkan, dirinya yang semula sempat takut mati, ketakutan itu malah hilang saat Ainun wafat. Habibie percaya, saat kelak wafat dan berada dalam dimensi yang sama dengan Ainun, dirinya akan kembali berjumpa dengan belahan hatinya itu.
Bagi Habibie, cintanya untuk Ainun bukanlah cinta ala Romeo dan Juliet. Namun, cinta yang sublim, yang berhasil menyusup mulus melintasi dimensi, sampai waktunya berkumpul kembali. Kita mungkin justru seharusnya ikut berbahagia menghantarkan kepergiannya.
Selamat berkumpul lagi, Pak Habibie! (GAL)