Uni Eropa dan Amerika Serikat bisa memaknai hubungan mereka dengan China melalui banyak cara. Salah satunya lewat fakta bahwa China adalah mitra dagang dengan volume transaksi sedikitnya Rp 1 triliun per jam. Fakta itu ikut dipertimbangkan Brussels dan Washington dalam menyikapi perkembangan Hong Kong.
Brussels mencatat volume perdagangan dengan China sepanjang 2018 mencapai 604 miliar euro atau 668 miliar dollar AS. Sementara Kementerian Perdagangan AS mencatat volume transaksi dengan Beijing mencapai 737 miliar dollar AS sepanjang 2018. Dengan kata lain, nilai perdagangan AS-China mencapai 84,1 juta dollar AS atau Rp 1,17 triliun per jam. Ada pun dengan EU-China, nilai perdagangannya mencapai 76,2 juta dollar AS atau Rp 1,06 triliun per jam.
Kaitan perkembangan Hong Kong dan posisi penting China sebagai mitra dagang dilontarkan oleh Presiden AS Donald Trump. Ia menyatakan ingin melihat perlakuan manusiawi Beijing terhadap Hong Kong sebelum melangkah lebih jauh soal perundingan dagang. Trump tidak membuat pernyataan lebih rinci, termasuk soal tuntutan kemerdekaan yang diteriakkan sebagian pengunjuk rasa di Hong Kong.
Ketua DPR AS Nancy Pelosi juga berhati-hati soal Hong Kong. "Demokrat dan Repulikan terus bersama warga Hong Kong yang meminta masa depan penuh harapan, bebas, dan demokratis sebagai hak mereka," ujarnya.
Pelosi menyatakan, kongres AS akan mempercepat pembahasan rancangan undang-undang kerja sama AS-Hong Kong. Dalam rancangan itu, kemudahan perdagangan AS-Hong Kong akan dikaji setiap tahun. Kajian ini, antara lain, untuk melihat sejauh mana otonomi Hong Kong dipertahankan. Ya, otonomi, bukan kemerdekaan atau berpisah dari China.
AS memang menjadi salah satu negara yang paling kerap dimintai memberi perhatian pada isu Hong Kong oleh para pengunjuk rasa. Bahkan, permintaan itu disampaikan lewat unjuk rasa di depan konsulat AS di Hong Kong pada akhir pekan lalu. "Bersama Hong Kong, bersama Hong Kong," demikian teriakan pengunjuk rasa.
Eropa pun kurang lebih senada. Kanselir Jerman Angela Merkel yang menyatakan harapan agar masalah Hong Kong diselesaikan secara damai.
Inggris, mantan penguasa Hong Kong sampai 1997, malah makin senyap sejak 23 Agustus 2019. Hari itu, China melepaskan Simon Cheng yang merupakan pegawai konsulat Inggris di Hong Kong.
Cheng ditahan sejak 10 Agustus 2019 kala melawat ke Shenzhen. Tidak ada penjelasan resmi mengapa ia ditahan lalu dilepaskan begitu saja setelah hampir dua pekan. Hal yang jelas, London tidak lagi banyak bersuara soal Hong Kong setelah Cheng dibebaskan.
Keping Taruhan
"Negara-negara lain mungkin prihatin, kepentingan ekonomi mereka terganggu jika berbicara terbuka menentang China," kata Direktur Program Asia Timur pada Stimson Centre, Yun Sun, kepada kepada koran Hong Kong, The South China Morning Post.
Direktur Institute for the Analysis of Global Security, Gal Luft, mengatakan, salah bila warga Hong Kong mengharapkan Barat akan melindungi mereka dari Beijing. "Washington akan memakai Hong Kong sebagai keping taruhan dalam perang dagang dengan China dan (Hong Kong) akan diabaikan jika kepentingan AS tercapai," kata pemimpin lembaga kajian yang berkantor di Washington itu kepada The South China Morning Post.
Beijing pun akan berusaha keras menahan diri. Sebab, hal yang paling dikhawatirkan Beijing bukan unjuk rasa maupun dukungan asing pada unjuk rasa. Beijing amat khawatir jika pebisnis global meragukan stabilitas Hong Kong, lalu meninggalkan kota itu. "Tidak ada yang lebih membahayakan masa depan Hong Kong kecuali ditinggalkan para pebisnis beramai-ramai," kata Luft.
Ditinggalkan pebisnis global sama saja kematian bagi Hong Kong. Sebab, status sebagai salah satu penghubung bisnis dan keuangan global adalah sumber utama penghidupan Hong Kong. (AP/REUTERS)