Warisan Cinta pada Media Massa
Tidak ada demokrasi di negara
modern mana pun di dunia ini tanpa adanya kemerdekaan pers.
(Presiden BJ Habibie,
10 Oktober 1998)
Nama Bacharuddin Jusuf Habibie sempat dikaitkan dengan pembredelan sejumlah media massa di negeri ini pada Juli 1994. Dia saat itu menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi. Pembredelan tabloid Detik serta majalah Tempo dan Editor oleh Pemerintah Orde Baru saat itu dikaitkan dengan impor kapal bekas dari Jerman, negeri tempat Habibie menempuh pendidikan, berkarya, dan bermukim sebelum kembali ke Tanah Air.
Saat Soeharto kembali dipilih oleh MPR sebagai Presiden pada 1998, Habibie diangkat sebagai Wakil Presiden. Kemerdekaan pers di Indonesia pun masih dikendalikan pemerintah melalui mekanisme surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). Setiap saat media massa yang dinilai melanggar oleh pemerintah bisa saja SIUPP-nya dicabut atau dibredel.
Habibie hanya sekitar 14 bulan menjadi Wapres. Ia menggantikan Soeharto yang meletakkan jabatan pada 21 Mei 1999. Namun, rakyat menilai ia dalam bayang-bayang pendahulunya, Soeharto yang berkuasa lebih dari 32 tahun, termasuk dalam menangani kemerdekaan pers.
Habibie menjawab keraguan itu dengan sikap jelasnya. Ia memihak kebebasan pers. Apalagi, ia dididik di negara yang mempunyai tradisi kemerdekaan pers yang tinggi. Saat berbicara dalam pembukaan Kongres Ke-20 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Semarang, Jawa Tengah, 10 Oktober 1998, ia tak hanya memastikan negara modern memerlukan kemerdekaan pers, tetapi juga menegaskan pemerintah tidak ingin campur tangan dalam masalah pemberitaan. Pemerintah tak akan mengarahkan, memberi petunjuk, ataupun menelepon redaksi media massa tentang berita mana yang harus disiarkan dan mana yang tidak.
”Keputusan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan suatu berita sepenuhnya ada di tangan insan pers sendiri,” tutur Presiden Habibie (Kompas, 11/10/1998). Langkah reformasi di bidang peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang pers ini tidak terpisahkan dari proses demokratisasi yang sedang dijalankan.
Pemikiran Habibie tentang kemerdekaan pers dan negara modern itu pun tertuang dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang diundangkan pada 23 September 1999, kurang dari sebulan sebelum ia menyatakan tak bersedia dicalonkan sebagai presiden, setelah pertanggungjawabannya ditolak oleh mayoritas anggota MPR. Konsideran menimbang UU Pers menegaskan, ”(a) bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin”.
Namun, Habibie mengingatkan juga, kemerdekaan pers membawa tanggung jawab. Pers yang merdeka wajib menyadari, mereka juga bertanggung jawab atas suatu pemberitaan dan akibatnya. Tanggung jawab itu bukan pada pemerintah, melainkan kepada bangsa dan negara.
”Pemerintah tidak identik dengan negara. Jika pemerintah dirugikan oleh pemberitaan pers, sebagai subyek hukum, pemerintah berhak minta pertanggungjawaban pers melalui badan peradilan. Hak seperti itu dimiliki juga oleh setiap individu, setiap badan hukum, atau siapa saja yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers,” kata Presiden Habibie lagi saat itu.
Oleh karena itu, menghadapi langkah reformasi, tidak ada pilihan lain bagi insan pers, kecuali meningkatkan profesionalisme. Kode etik jurnalistik harus ditegakkan. Kaidah moralitas dan hukum harus dijunjung tinggi. Semangat kerja insan pers harus didasarkan pada prinsip kebenaran, kejujuran, keadilan, keseimbangan, dan menjauhkan diri dari segala bentuk prasangka. ”Jika semua ini dilalaikan, bukan mustahil pers akan digugat, bahkan dituntut oleh pihak yang merasa dirugikan atau dicemarkan nama baiknya,” kata Presiden.
Sikap Presiden Habibie itu tertuang pada Pasal 4 dan 5 UU Pers yang kini berlaku. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, serta terhadap pers nasional tak dikenai penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Namun, pers berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pers juga wajib melayani hak jawab dan hak koreksi.
Tidak hanya membuat UU yang lebih menjamin kemerdekaan pers, Habibie juga mendorong pencabutan SIUPP yang membuat media massa tidak berkutik saat berhadapan dengan pemerintah dan membuka keran kemerdekaan berserikat kepada wartawan. Tak ada lagi organisasi tunggal untuk wartawan. Penerbitan media massa tak perlu izin, tetapi cukup mencantumkan alamat dan penanggung jawab media massa itu.
Menteri Kehakiman Muladi memastikan sikap Presiden Habibie yang menghargai kemerdekaan pers. ”Tidak ada maksud pemerintah melakukan sensor preventif terhadap pers. Semua orang, kan, tahu sensor terhadap pers itu melanggar hak asasi manusia,” ucap Muladi (Kompas, 15/9/1998).
Dosen Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Ignatius Haryanto dan Ketua Dewan Kehormatan PWI Ilham Bintang sependapat, Habibie adalah Bapak Kemerdekaan Pers Indonesia. Ia mampu mendorong pers nasional tumbuh dalam suasana demokratis untuk mendukung demokrasi. (TRA)