Jadwal penerbangan terganggu. Kualitas udara memburuk. Petugas membagi-bagikan masker. Selain masker, warga diminta menyalakan mesin penjernih udara, menutup pintu dan jendela, serta mengurangi aktivitas di luar ruang.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
PEKANBARU, KOMPAS — Asap pekat mengepung Bandara Sultan Syarif Kasim II, Kota Pekanbaru, Riau, Jumat (13/9/2019). Akibat asap pekat itu, penerbangan dari Jakarta menuju Pekanbaru ditunda selama dua jam.
Pesawat GA 172 dari Jakarta menuju Pekanbaru, yang semula dijadwalkan terbang pukul 08.00 WIB, akhirnya baru terbang pukul 10.20.
”Keterlambatan dikarenakan asap tebal di Bandara Sultan Syarif Kasim II yang mengganggu jarak pandang,” ujar pilot Aryo melalui pengumuman dalam kabin pesawat.
Menjelang pendaratan di Pekanbaru, tercium bau sangit masuk ke dalam kabin pesawat. Ketika menengok ke luar jendela, asap tebal menghalangi pandangan kota. Tiba di bandara, jarak pandang hanya sekitar 500 meter. Pesawat tampak samar-samar di horizon.
Di area kedatangan bandara, petugas bandara membagi-bagikan masker gratis kepada penumpang yang datang.
”Sudah sekitar sepekan terakhir kami bagi-bagi masker kepada penumpang. Sejak asapnya pekat sekali,” ujar Tarmuji, petugas bandara.
Berdasarkan data dari aplikasi pemantauan kualitas udara AirVisual, kualitas udara tercatat 603. Angka tersebut melebihi batas maksimal level bahaya, yakni 500.
Debu asap yang beterbangan berukuran 2,5 PM mikrogram per meter kubik. Kepadatan debu tercatat 656,4 mikrogram per meter kubik.
Dengan kualitas udara seperti ini, warga diminta untuk selalu mengenakan masker, menyalakan mesin penjernih udara, menutup pintu dan jendela, serta mengurangi aktivitas di luar ruang.
Selain di Pekanbaru, kabut bercampur asap pekat juga mengepung Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. Akibatnya, lima jadwal penerbangan ditunda. Penundaan ini disebabkan jarak pandang sangat terbatas, bahkan sempat menyentuh 300 meter. Angka itu jauh dari jarak pandang ideal, yakni 800 meter-1 kilometer.
Kebakaran hutan
Sebelumnya diberitakan, kebakaran hutan dan lahan meluas dan menyebabkan kualitas udara di beberapa kota di Sumatera dan Kalimantan memburuk. Padahal, musim kemarau dan kekeringan masih akan berlangsung sepanjang September 2019.
”Ada kenaikan signifikan jumlah titik panas, terutama di Jambi dan Kalimantan Tengah (Kalteng). Minggu lalu di Jambi 248 titik panas, minggu ini sudah 710 titik panas. Di Kalteng, dari 873 pada minggu lalu, sekarang menjadi 1.036 titik panas,” kata Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Siswanto, di Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Peningkatan jumlah titik panas juga terdeteksi di Sumatera Selatan dalam sepekan terakhir, yaitu dari 72 menjadi 279. Sedangkan di Riau dari 211 titik panas menjadi 305 titik panas.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), total luas lahan yang terbakar sejak Januari 2019 mencapai 328.724 hektar (ha) dan total titik panas di seluruh wilayah Indonesia mencapai 3.673.
Sekalipun kebakaran sebagian besar dipicu ulah manusia, dari aspek cuaca, menurut Siswanto, musim kemarau kali ini tergolong ekstrem, bahkan terkering sejak 2015 sehingga kemudahan kebakaran juga tinggi.
Potensi kebakaran pun masih sangat tinggi karena kekeringan diperkirakan masih akan berlanjut sepanjang bulan ini.